Saya sudah empat kali
mengikuti workshop TTI (Teacher Training Institute) Strategic Business yang
dilaksanakan oleh USAID Prioritas. Pertama
di tingkat nasional yang dilaksanakan di Yogyakarta pada bulan Juni 10-11, selanjutnya
di Banten tanggal 4-7 November 2015, disusul dengan di Semarang pada tanggal 16-18
November 2015 dan terakhir di Surabaya pada tanggal 21-23 Desember 2015. Konon worshop seperti itu akan
dilaksanakan di 8 propinsi yang menjadi wilayah kerja USAID Prioritas.
Workshop itu diikuti
oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) atau yang biasa disebut
sebagai IKIP/FKIP/STKIP/Fakultas Tarbiah dan sejenisnya. Pokoknya perguruan tinggi yang menghasilkan
guru, yang oleh USAID disebut sebagai TTI.
Tujuan dari workshop itu adalah mendorong LPTK mau memperhatikan
peningkatan kualitas lulusan mereka (guru) setelah mereka bekerja di sekolah.
Jadi kata “business” dalam judul workshop itu lebih menggunakan makna dalam
bahasa Inggris, yaitu “business” sebagai
“urusan” dan bukan dalam bahasa Indonesia yang lebih condong kepada
profit.
Secara pribadi saya
sangat mendukung ide tersebut, karena selama ini LPTK memang belum
memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap alumninya setelah mereka berkarier
di sekolah. Memang itu bukan salah LPTK,
karena pemerintah RI sepertinya menghendaki seperti itu. Kemdikbud memiliki unit kerja yang secara
khusus ditugasi untuk menangani peningkatan mutu guru, yaitu P4TK (Pusat
Peningkatan Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan...kalau tidak
salah). Bahkan di masa lalu ada BPG
(Balai Penataran Guru) pada setiap propinsi.
Namun perlu diingat
bahwa jumlah guru sangat besar, sehingga diragukan apakah P4TK yang berjumlah
12 itu mampu menangani peningkatan mutu guru.
Pada hal BPG yang sekarang berubah menjadi LPMP (Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan) tidak lagi menangani pelatihan guru. Sebagai contoh di Jawa Timur terdapat sekitar
450.000 orang guru. Jika peningkatan
mutu guru diasumsikan melalui pelatihan dan setiap guru dua tahun sekali
medapat pelatihan, berarti dalam setiap bulan ada sejumlah 18.750 orang guru
yang harus dilatih. Jika setiap minggu
ada pelatihan, maka setiap minggu ada 4.687 orang guru yang harus dilatih.
Sulit dibayangkan, bagaimana cara melatihnya.
Jika diasumsikan peningkatan mutu guru melalui KKG/MGMP dan setiap
KKG/MGMP memilki 30 orang anggota, berarti di Jawa Timur ada 15.000
KKG/MGMP. Mustahil P4TK dan LPMP mampu
menangani itu.
Disitulah letak
strategisnya mendorong LPTK aktif dalam peningkatan mutu guru alumninya. Unesa memiliki sekitar 900 orang dosen. Jika digabungkan dengan dosen UM, UNEJ dan
Unijoyo dan juga beberapa LPTK Swasta besar, rasanya jumlah dosennya tidak
kurang dari 4.000 orang. Jika setiap 2 orang dosen diwajibkan membina 1
KKG/MGMP berarti ada 2.000 KKG/MGMP yang tertangani.
Apakah untuk itu LPTK
tidak boleh memungut biaya? Rasanya
justru harus, sepanjang itu dalam jumlah yang wajar. Apalagi jika itu juga dikaitkan sebagai
kegiatan PKM (Pengabdian kepada Masyarakat) bagi dosen yang bersangkutan. Mencari uang tetapi tidak semata-mata untuk
itu.
Memang universitas
(termasuk LPTK) sudah harus mulai bertransformasi dari lembaga cost center yang
hanya menghabiskan anggaran dari negara, menjadi paling tidak lembaga yang
mampu self support. Mampu membiayai diri
sendiri dan untuk itu tidak boleh hanya mengandalkan dari SPP mahasiswa. Peningakatan mutu alumni dapat dijadikan
awalan menggali dana dari luar. Apalagi
jika nanti melebar ke penelitian dan pengembangan sekolah. Bukankah sebagai universitas LPTK harus
melaksanakan fungsi penelitian ilmiah.
Dan penelitian yang terkait dengan proses pembelajaran dan pendidikan
pada umumnya harus menjadi intinya, karena itulah ciri utama LPTK sebagai
universitas.
Tentu tidak mudah
mengubah LPTK dari cost centre menjadi slef support unit. Tidak hanya LPTK negeri yang selama ini
mengandalkan dana dari pemeritah.
Termasuk juga LPTL swasta yang selama ini hanya mengandalkan dari SPP
mahasiswa. Penelitian dan pengembangan
pendidikan sudah harus dipikirkan untuk menjadikan LPTK benar-benar sebagai
universitas dan sekaligus tidak semata-mata cost centre. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar