Saat di SD dan tinggal
di pedesaan, saya pernah mencoba menyambung pohon singkong biasa dan singkong
karet yang di kampung saya biasa disebut telo tahun. Saya mencoba setelah di sekolah Pak Guru
menerangkan temuan Pak Mukibat itu.
Seingat saya Pak Guru menjelaskan bahwa Pak Mukibat adalah petani biasa
dan bukan petani yang “makan universitas”, tetapi sangat kreatif. Entah bagaimana ceritanya, Pak Mukibat
menemukan tanaman singkong biasa yang bagian atasnya disambung dengan singkong
karet, menghasilkan umbi singkong yang besar.
Pak Guru SD saya juga
bercerita Pak Mujahir yang konon menemukan ikan mujahir yang dapat
dikembangbiakan dalam kolam sederhana.
Almarhum kakek saya juga membudidayakan ikan mujadir di depan rumahnya
sekitar tahun 1960an. Saya sudah tidak
ingat cerita bagaimana Pak Mujahir menemukan cara pembudidayaan ikan
mujahir. Yang saya ingat Pak Guru
menceritakan bahwa Pak Mujahir adalah orang desa yang ulet dan tidak patah
semangat untuk mencari cara berternak ikan.
Saya pernah dapat
informasi bahwa perancang masjid istiqlal bukanlah insinyur, melainkan lulusan
STM. Tentu kita tidak meragukan
keindahan dan kemegahan masjid kebanggaan bangsa Indonesia itu. Yang ingin saya sampaikan ternyata lulusan
STM jika dia pandai, tekun dan terus menempa diri dalam menjalani profesinya
juga mampu menghasilkan karya yang tidak kalah dengan insinyur.
Almarhum ayah saya
sendiri juga hanya mengenyam Kelas 2 SD.
Istilahnya Sekolah Ongko Loro, mungkin sekolah desa yang di jaman
Belanda disediakan untuk anak-anak pedesaan dan bukan anak pejabat atau
priyayi. Namun sebagai petani yang nyambi
ini dan itu, almarhum ayah saya pernah menjadi juara 1 peternak kecil se Jawa
Timur. Beliau suka mencoba-coba makanan
ayam dengan menganalogikan apa yang diamati.
Misalnya ayam diberi makan bekicot dengan asumsi makan daging agar
telornya lebih banyak. Ayam diberi makan
cangkok bekicot yang dihancurkan dengan harapan kulit telor menjadi lebih
tebal. Ayah saya juga yang membuat
inovasi “rengkek” yaitu alat untuk memandu penanam padi agar berjalan sama dan
teratur. Dan setelah posisi tanaman padi
teratur diciptakan sorok untuk menyiangi gulma sekaligus menggemburkan tanah.
Sebagai peternak, almarhum ayah saya pernah berdebat dengan dokter hewan
tentang penyakin ayamnya. Dan herannya
ayah saya yang menang, setelah ayam itu disembelih dan dibedah.
Jika tiga orang
tersebut berpendidikan rendah tetapi bermodal semangat dan keinginan untuk
berinovasi, sehingga akhirnya menemukan hal-hal baru di pekerjaannya,
mungkinkan guru juga seperti itu?
Mungkinkah guru SD yang sudah sekian lama menekuni pekerjaannya mengajar
menemukan cara mengajar atau cara mendidik yang sangat efektif? Tentu dengan asumsi guru tersebut memiliki
ketekunan dan semangat seperti Pak Mukibat, Pak Mujahir dan ayah saya.
Saya tidak tahu
bagaimana temuan Pak Mukibat dan Pak Mujahir menjadi populer sehingga
mengangkat namanya. Walaupun tidak
terkenal, jika Anda ke daerah sekitar kampung saya dan menyebut nama Mbah
Samani kepada orang yang usianya sekitar 50 atau 60 tahun, hampir pasti mereka
akan menyebut “Oh Mbah Samani yang memelihara ayam ya, yang membuat rengkek”.
Apakah ada contoh guru
yang inovatif? Seingat saya, Jawa Pos
pernah memfiture-kan seorang guru IPA di Malang yang konon sangat inovatif
dalam mengajar dan membuat alat peraga sederhana untuk memudahkan siswa
memahami konsep Fisika. Guru SD Kelas 1
dan 2 saya juga sangat inovatif dalam mengajar.
Kami dulu sering diajak ke kebun samping sekolah untuk belajar ini dan
itu. Beliau juga menerapkan “sarapan
nasi kemarin”, yaitu pelajaran terakhir tidak dihapus dari papan tulis dan
besuknya pagi-pagi diulangi lagi dengan mengecek pemahaman siswa.
Mungkin inovasi guru
seperti itu tidak ada dalam teori.
Mungkin sang guru juga tidak dapat menjelaskan secara teori dengan
baik. Mungkin sang guru juga tidak
banyak membaca teori. Bahkan mungkin
sang guru itu juga tidak tinggi dalam skor UKG yang dicapai. Jika hal seperti iu benar-benar terjadi,
bagaimana kita dapat mengenali sekaligus memberikan apresiasi? Tampaknya UKG yang paper and pencil test dan
berbentuk pilihan ganda perlu dilengkapi dengan bentuk lain, agar dapat
menangkat guru-guru “inovatif itu”.
Jika karena alasan
tertentu, UKG memang harus berbentuk pilihan ganda, maka harus dicari cara agar
ada peluang kita untuk mengenali para guru yang inovatif tersebut di atas.
Untuk itu PKG (Penilaian Kinerja Guru) perlu didorong untuk mengakomodasi itu. Artinya PKG harus dirancang untuk meng-ekplor
inovasi yang dikembangkan oleh pada guru di lapangan. Sebagai pendidik, saya yakin banyak guru yang
berusaha menemukan cara mendidik muridnya yang sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat. Bukankan kita
mendorong apa yang biasa disebut dengan pembelajaran kontekstual, yang sangat
mungkin polanya tidak dibayangkan oleh para pengembang test UKG yang konon
tidak memiliki jam terbang tinggi dalam mengajar di sekolah. Tentu juga harus diupayakan agar pelaksanaan
PKB juga berjalan dengan baik. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar