Ketika mengikuti FGD
(focus group discussion) dengan beberapa guru peserta PLPG dan dosen pembinanya
di Unsyah (Universitas Syahkuala) tanggal 14 Desember 2015, saya sedih
sekaligus gembira. Sedih karena dari
pengakuan guru maupun dosen, dapat disimpulkan kompetensi guru kita memang
masih sangat kurang. Kelulusan Ujian
Tahap pertama yang hanya sekitar 40% memberikan gambaran tentang itu. Penjelasan hampir semua dosen mendukung data
tersebut, yaitu bahwa masalah pokok PLPG adalah bekal awal peserta yang sangat
kurang, sehingga mustahil dalam waktu 9 hari itu dapat dtingkatkan secara
drastis.
Sebenarnya saya ingin
“menyekak” teman-teman dosen FKIP Unsyah dengan mengataskan: “toh mereka itu
sarjana pendidikan yang nota bene lulusan Unsyah”. Namun respon balik teman-teman dosen justru
mengejutkan, karena hanya sekitar 20 % dari peserta yang lulusan Unsyah. Lantas peserta sekitar 3.300 orang itu alumni
mana? Toh mereka sudah banyak yang
senior dan diangkat sebelum 30 Desember 2005. Jadi pastilah usia mereka lebih
dari 32 tahun. Ternyata mereka itu
sebagian besar guru yang awalnya mengajar dengan ijasah SLTA atau D2 dan
kemudian mengikuti S1 sambil mengajar.
Sebagian besar menempuh S1 di LPTK Swasta yang konon seadanya. Seorang
kawan berkelakar ada diantara PTS itu yang STIA artinya “sekolah tidak tapi
ijasahnya ada”. Moga-moga itu hanya
kelakar.
Walaupun tidak secara
laungsung mengakui, tetapi sebagian besar guru SD mengatakan kesulitan dalam
mengikuti pendalaman materi untuk bidang Matematika dan IPA Kelistrikan. Ketika mengerjakan tes, yang mereka anggap
sulit juga kedua bidang tersebut. Jadi kesulitannya pada materi ajar dan bukan
pada pedagogik. Dosen bahasa Inggris
bahkan mengatakan banyak guru peserta PLPG yang tidak mampu berbicara dengan
bahasa Inggris. Bahkan ketika sang dosen
menerangkan dengan pengantar bahasa Inggris banyak guru yang tidak faham,
sehingga akhirnya terpaksa menggunakan pengantar bahasa Indonesia.
Di lain pihak saya
gembira, karena para guru secara jujur memerlukan pelatihan secara kontinyu
untuk meningkatkan kemampuannya.
Permintaan itu sangat mengembirakan, karena itu berarti mereka merasa
perku meningkatkan kemampuannya. Apalagi
permintaan itu disampaikan setelah mereka selesai mengikuti PLPG, sehingga
dapat diduga setelah mengikuti serangkaian workshop mereka merasa banyak materi
yang belum dikuasai. Kata orang bijak: “orang tahu kalau dia tidak tahu, jauh
lebih baik dibanding orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu”. Jadi guru yang sadar bahwa kompetensinya
kurang baik, merupakan indikator yang positif, apalagi kalau kemudian mereka
berusaha memperbaikinya.
Pertanyaannya
bagaimana merancang pelatihan guru yang jumlahnya sangat banyak. Data terakhir menunjukkan jumlah guru kita
sekitar 3 juta orang. Kalau setiap guru
perlu mengikuti pelatihan sekali dalam satu tahun, artinya dalam satu tahun ada
3 juta guru yang harus dilatih atau 250.000 orang dalam satu bulan atau 62.500
dalam satu minggu.
Kalau pelatihan
dilakukan oleh LPMP yang ada di setiap propinsi dengan jumlah 33 buah, berarti
seiap LPMP setiap minggu rata-rata harus melatih sekitar 1.900 orang. Itu belum kalau diperhitungkan ada propinsi
yang ounya guru sangat banyak. Misalnya
Jawa Timur yang punya guru sekitar 450.00 orang, sehingga per minggu LPMP Jawa
Timur harus melatih 9.375 orang guru.
Tentu sangat berat kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin. Tidak mungkin karena siapa yang melatih dan
dimana pelatihan untuk sebanyak itu dilakukan.
Apalagi pelatihan yang
sifatnya “grudugan” dengan peserta banyak dan waktunya sedikit seringkali tidak
efektif. Apalagi jika pelatihannya di hotel yang tidak memiliki sarana
pembelajaran dan yang melatihpun juga tidak benar-benar ahlinya. Banyak studi yang menunjukkan pelatihan yang
selama ini dilaksanakan tidak signifikan dalam meningatkan mutu guru. Oleh karena itu perlu dicari pola lain dalam
meningkatkan kemampuan dan profesionalisme guru kita.
Dalam filosofi penggilingan
padi, beras itu menjadi putih bukan karena bergesekan dengan mesin penggiling,
tetapi bergesekan antar butiran beras.
Dalam praktek kependidikan, seringkali diskusi antar mahasiswa lebih
efektif dibanding penjelasan dosen.
Artinya interasi antar teman seringkali sangat efektif. Nah, dari filosofi
itu mungkinkan interaksi antar guru menjadi sarana peningkatan kemampuan
mereka?
Selama ini kita punya
KKG (kelompok kerja guru) bagi guru SD dan MGMP (musyawarah guru mata
pelajaran) bagi guru SMP/SMA/SMK. Di
negara lain organisasi seperti itu disebut PLC (professional learning
community). Mungkinkah KKG/MGMP/PLC
menjadi wahana peningkatan profesionalisme guru? Di negara maju, PLC telah menjadi ujung
tombak pembinaan guru secara profesional, namun di Indonesia tampaknya hal itu
belum terjadi.
Ketika saya tanyakan,
apa kegiatan dalamKKG/MGMP selama ini, para guru di Aceh yang mengatakan
biasanya membahas Kurikulum 13. Bahkan
konon KKG/MGMP itu bak “hidup segan mati tak mau”, artinya namanya masih ada
tetapi aktivitasnya hampir vakum. Kalau
toh ada sekedar untuk bertemu, berkelakar dan melepas rasa rindu. Alasan yang biasa muncul, karena tidak ada
anggaran dan guru sibuk bekerja.
Ketika guru menerima
tunjangan profesi, sehingga tidak lagi disibukkan mengajar tambahan untuk
menegakkan tungku dapur, mestinya guru punya waktu untuk KKG/MGMP. Beberapa kabupaten konon membuat aturan guru
yang sudah menerima tunjangan profesi menyisihkan sekian persen untuk kegiatan
KKG/MGMP. Dengan demikian yang
diperlukan membangun sistem kegiatan KKG/MGMP yang bagus.
Jika setiap sekolah
memiliki KKG/MPMP lokal, seperti PLC di negara maju, maka di setiap sekolah
akan ada aktivitas KKG/MGMP lokal.
Kegiatan KKG/MGMP rayon yang mungkin diadakan 2 minggu sekali atau 3
minggu sekali, mungkin lebih difokuskan untuk membahas hal-hal yang tidak dapat
terselesaikan di KKG/MGMP lokal. Jika
diperlukan juga dapat mengundang pakar dari perguruan tinggi atau lembaga yang
tepat, seperti LPMP dan P4TK.
Di Taiwan, setiap
dosen LPTK wajib punya KKG/MGMP binaan, sebagai kegiatan Pengabdian kepada
Masyarakatnya. Dengan begitu, para dosen
LPTK di Taiwan punya tanggung jawab terhadap profesionalisme guru di KKG/MGMP
binaannya. Untuk Indonesia yang memiliki
begitu banyak LPTK dan juga punya P4TK dan LPMP, rasanya pola Taiwan dapat dijadikan
bahan banding. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar