Ketika naik bus dari
Makah ke Jedah untuk pulang, saya duduk di kursi paling dengan bersama Pak
Slamet, Direktur PMU yang sehar-harinya dosen prodi Pertanian Holtikultura IPB. Model busnya khas, sangat tinggi dan posisi
duduk penumpang seperti di lantai dua.
Jadi posisi duduk saya yang di kursi paling depan, pas di atas
sopir. Dengan begitu saya dan Pak Slamet
dapat leluasa melihat-lihat ke depan sepanjang perjalanan.
Tenyata di perjalanan
saya menemukan ada lahan yang tidak seperti lahan pada umumnya di sekitar Makah. Lahan kiri kanan jalan di Makah bisanya
berupa padang pasir berbatuan, bahkan bukit-bukit batu. Kalau toh ada tumbuhan adalah tumbuan pada
pasir. Nah, beberapa kali kami melewati
lahan yang ada rumput hijaunya, walaupun sangat sedikit. Mirip rumput di sawah yang setelah kemarau
panjang, terus ada hujan sedikit. Namun
karena lokasi lainnya kering kerontang, maka rumput yang hanya sedikit itu
segera menarik perhatian kami.
Pada lahan itu ada
domba dan juga unta yang sedang makan.
Saya tidak tahu, yang jelas rumputnya tidak setinggi dan setebal rumput
di Indonesuia, tetapi sepertinya kambing dan unta itu makan dengan lahap.
Jumlah unta mungkin sekitar 20an, sedangkan jumlah domba sekitar 40an. Kedua jenis binatang itu berbaur, sepertinya
sudah saling bertema. Sang domba tampak
tidak takut dengan unta, sebaliknya sang unta juga tidak terusik oleh adanya
domba di sekitarnya.
Saya membayangkan
rumput yang tipis di lahan yang tidak terlalu luas itu tentu tidak cukup untuk
membuat unta-unta dan domba-domba itu
kenyang. Pada hal, jumlah lahan yang seperti
itu hanya tiga atau empat buah sepanjang jalan yang saya lewati dari Makah ke
Jedah. Pertanyaan yang muncul, terus
unta dan domba itu apa makan lagi agar kenyang ya? Apa pencernaan domba di Arab yang
menyesuaikan diri dengan sedikitnya makanan rumput? Atau oleh penggembalanya diberi makanan lain?
Menurut riwayat, Nabi
Muhammad ketika kecil juga menggembala domba di Makah. Jadi domba sudah ada di Makah sejak lama.
Pada hal, logikanya saat itu belum ada pengolahan air untuk menyirami tanaman
di Makah. Kalau sekarang banyak tanaman
di Makah itu karena disirim dengan pola pengarian drip, yaitu ada pipa air
kecil di setiap pohon atau area rumput/bunga dan setiap saat dari ujung pipa
itu keluar air untuk menyiramnya. Tentu
sebelum ada teknologi itu Makah jauh lebih gersang.
Konon kalau unta
memang termasuk binatang yang tahan tidak minum dan makan berhari-hari. Seakan-akan unta memang jenis binatang yang
oleh Yang Maha Kuasa didesain untuk daerah padang pasir. Namun kalau domba, kan banyak juga di daerah
lain, baik di daerah tropis maupun daerah dingin. Apakah pencernaan domba Arab berbeda dengan
pencernaan domba Indonesia atau Newa Zeland yang punya banyak rumput? Apakah pencernaan domba juga dapat
beradaptasi sepertinya bulunya, sehingga analog bulu domba di New Zeland
berbeda dengan buku domba di Jawa, pencernakan domba di Arab juga berbeda
dengan pencernakan temannya di Indonesia?
Sambil mengamati
situasi itu saya berpikir, pada zaman dulu orang Makah makan apa ya? Dengan tanah yang pasir berbatuan rasanya
tanaman sulit untuk tumbuh. Yang sering
kita baca zaman dulu kurma sudah ada, sehingga konon menjadi salah satu makanan
penting. Konon orang Arab makan
roti. Tetapi roti dibuat dari apa
ya? Rasanya di Makah tidak tumbuh gandum
atau padi atau sejenisnya. Kalau untuk membuat
roti perlu tepung, dari bahan apa tepung di buat? Rasanya juga tidak mungkin orang hanya makan
kurma saja.
Kalau mengamati para
pedagang di pasar Arab makan, umumnya mereka makan roti plus semacam gulai
kambing yang kental. Sobekan roti (roti
maryam?) dipakai membungkus gulai kambing kental itu, terus dimakan. Kalau itu jenis makanan tradisional Arab
sejak zaman dulu, berarti perlu ada daging plus tepung sebagai bahan
dasar. Sekali lagi dari apa tepungnya
dibuat.
Pikiran saya ngelantur
lagi, betapa beratnya hidup orang Arab Zaman dahulu. Menurut riwayat, ketika Siti Hajar dan Ismail
ditinggalkan di Makah oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar awalnya juga mengeluh
mengapa mereka bedua ditinggalkan di daerah berbatuan yang waktu itu tidak ada
air. Tanpa air, apalagi tanahnya pasir berbatuan tentu dapat dibayangkan betapa
sulitnya kehidupan. Saat itu memang
belum ditemukan sumur (sumber air zamzam).
Jika Siti Hajar saya mengeluh (sebelum tahu kalau itu perintah Sang
Khalik), apalagi orang biasa. Jadi
tentulah kehidupan di Makah saat itu tidak mudah.
Kembali pada
pencenakan domba, mungkin setiap makhluk diberi kemampuan untuk beradaptasi
dengan lingkungan dan kemapuan seperti yang menentukan survive atau tidaknya
yang bersangkutan. Jadi sangat mungkin
pencernakaan domba di Arab sudah beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga
mampu bertahan. Itu hanya dugaan saya,
tentu pada ahlinya yang berhak menjelaskan benar atau tidaknya. Semoga.
1 komentar:
Tapi ada kan??
itu juga cukup!
Posting Komentar