Setiap orang yang ke masjid
Nabawi biasanya kepingin sekali ke Raudah, tempat berdo’a yang diyakini
mustajabah. Lokasinya terletak antara
makan Rasul dan mimbar masjid. Menurut
riwayat, dahulu lokasi itu antara rumah Rasul dan mimbar. Oleh karena itu, sejak dari Jedah saya sudah
ingin sekali bisa ke Raudah. Waktu kami
di Madinah hanya 2 hari kurang, sehingga dalam saya berpikir harus sesegera
mungkin kesana.
Ada tiga piihan waktu
berangkat dari Jedah ke Madinah. Semula,
travel yang mengatur perjalanan kami membuat jadwal kami berangkat dari Jedah
pukul 06.00 pagi. Hari itu Jum’at
sehingga takut kalau tidak dapat sholat Jum’at di masjid Nabawi. Muncul
keinginan untuk berangkat pukul 23.00 malam sehingga dapat sholat subuh di
Nabawi. Tetapi pilihan ini punta
konskweni, yaitu baru dapat masuk hotel di Madinah sekitar pukul 14.00an,
sehingga mulai subuh harus di masjid atau di lobi hotel. Pilihan ketiga, berangkat dari Jedah pukul
03.00 pagi, sehingga sampai di Madinah sekitar pukul 09.00 dan diharapkan
masjid belum terlalu ramai.
Setelah diskusi cukup
intens, akhirnya diputuskan kami berangkat pukul 03.00. Kami sholat subuh sebuah masjid kecil di
perjalanan dan disambung dengan sarapan, bekal yang diberikan oleh hotel
Holiday Inn. Porsinya sangat besar,
sehingga semua teman tidak habis. Itupun
masih ditambaj sekotak roti dengan porsi yang besar pula. Sambil makan, beberap teman berkelar: “Makanya
orang Arab besar-besar, karena makannya banyak”.
Kami tiba di Madinah
sekitar pukul 09.00. Setelah meletakkan
barang di hotel Al Haram, mengambil wudlu kami segera ke masjid Nabawi. Semula kami berangkat bersamaan, tetapi entah
mengapa, setelah masuk masjid kami hanya bertiga, Mas Prapto, Pak Slamet dari
PMU Jakarta dan saya. Sambil berjalan,
saya dan Pak Slamet diskusi mencari lokasi Raudah.
Setelah lokasi
ditemukan, kami bertiga sholat 2 rakaat di dekat Raudah. Setelah itu, kami mendekat untuk mencoba masuk
ke Raudah. Sepertinya biasanya jama’ah
yang akan masuk sangat banyak, sehingga harus antre menunggu mereka yang masih
di dalam Raudah disurug keluar oleh Askar.
Sambil menunggu kami melihat jam, masih pukul 10an, sehingga diskusi
apakah segera masuk atau menunggu gilaran berikutnya lagi. Biasanya orang hanya
boleh sholat dan berdo’a di Raudah sekitar 30-45 menit dan akan dikeluarkan
oleh askar, untuk member kesempatan jama’ah lainnya.
Sekitar pukul 10.30,
para pengantre diijinkan masuk, karena jama’ah yang di Raudah sudah
dikeluarkan. Saya dan Mas Prapto
terdorong ikut masuk, karena dengan badan kecil tidak bisa bertahan. Sedangkan Pak Slamet yang badannya agak besar
memilih duduk diluar Raudah dengan harapan nanti mendekati waktu sholat Jum’at
dapat masuk.
Secara kebetulan, saya
dan Mas Prapto dapat tempat di bagian belakang yang berjubel. Kami berdiri dan belum dapat sholat, karena
pas mepet di depan kami jama’ah lain sholat.
Baru setelah jama’ah tersebut selesai sholat dan bergeser untuk duduk
berdo’a kami dapat sholat.
Beberapa jama’ah yang
selesi sholat dan berdo’a keluar, sehingga Raudah yang semula sangat berjubel
menjadi agak longgar. Alhamdulillah,
saya dan Mas Prapto yang berada di sebelah saya dapat sholat berkali-kali dan
berdo’a dengan tenang. Kami berdo’a juga
agar tidak segera disuruh keluar. Dan
ketika tabir pembatas di belakang kami dibuka, saya sangat gembira karena itu
berarti sholat Jum’at akan dimulai.
Betul, setelah itu persiapan
sholat Jum’at mulai tampak. Petugas yang dipanggung mulai naik, dan mimbar
dibersihkan dan dijaga dua orang askar. Adzan berkumandang dan setelah itu khoti naik
mimbar. Walaupun sudah pernah sholat Jum’at di masjid Nabawi, teapi baru ini
saya dapat kesempatan sholat Jum’at di Raudah. Saya dapat dengan jelas melihat
Khatib yang khotbah.
Seperti biasanya,
khatib mengenakan jubah berwarna kopi susu dengan strip warna emas yang saya
duga itu tanda orang penting. Tentu
bacaan bahasa Arabnya sanga bagus, tetapi yang saya catat adalah beliau
membaca. Teksnya di kertas kecil tetapi
panjang dan dari jauh tampak seperti catatan isteri saya kalau belanja.
Mengapa saya mencatat
khotib yang membaca saat khotbah? Saya
sering ngrasani khotib di Indonesia yang berkhotbah tanpa teks atau catatan
sama sekali. Mungkin bahan sudah dihafal
dan dipersiapkan dari rumah. Toh
beliau-beliau itu khotib “profesional” yang tentu menguasai bahan di luar
kepala. Tetapi pengamatan saya, banyak khotib seperti itu khotbahnya tidak fokus dan melebar
kemana-mana. Atau ada juga mengulang-ulang, sehingga menjemukan. Begitu selesai khotbah, khotib turun dari
mimbar dan saya lihat berjalan menuju tempat imam diiringi oleh askar yang
berbadan tegap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar