Ketika Menteri
Perhubungan mengeluarkan aturan yang melarang Go Jek dan kawan-kawannya tidak
boleh beroperasi, saya jadi teringat Pak Djoko Santoso. Dalam suatu kesempatan Pak Djoko Santoso,
waktu itu menjadi Dirjen Pendidikan Tinggi, mengatakan kalau tugas pemerintah
adalah mengatur agar masyarakat terlayani dengan baik. Jika aturan yang ada kurang sesuai maka
aturan itu yang disempurnakan. Itu
berbeda dengan polisi dan inspektorat yang tugasnya mengawasi apakah kita yang
kita lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Apakah aturan itu sesuai dengan kenyataan lapangan, bukankah menjadi
tugas polisi dan inspektorat untuk meneliti.
Polisi dan inspektorat bekerja dengan keyakinan bahwa aturan itu betul
dan harus dilaksanakan.
Secara jujur saya
belum membaca peraturan Menteri Perhubungan yang melarang beroperasikan Go Jek
dan kawan-kawannya itu. Apalagi,
peraturan itu hanya berumur satu hari dan langsung dicabut. Namun yang saya
baca di koran dan juga saya dengarkan di televisi, Kementerian Perhubungan
melarang Go Jek bukan karena pelayanan yang on line, tetapi dari aspek
keamanan. Konon kendaraan roda dua tidak
aman untuk kendaraan umum, sehingga Kementerian tidak mengijinkan. Kendaraan umum minimal harus roda tiga. Dan memang Go Jek belum punya ijin, sehingga
seharusnya dilarang.
Saya tidak tahu apakah
memang sudah ada pengujian untuk menyimpulkan kalau kendaraan roda dua tidak
aman. Rasanya perusahaan sekelas Honda,
Yamaha, Suzuki dan sebagainya sudah melakukan riset panjang sehingga
mengeluarkan speda motor yang dapat dinakini 2 orang. Jika dua oranf, tentu satu orang pengemudi
dan seorang yang diboncengkan. Lantas
apa bedanya dengan ketika digunakan untuk ojek?
Pada oje, pengojek yang mengemudi dan penumpangnya yang membonceng. Mengapa kalau yang membonceng bukan penumpang
diyakini aman, buktinya diijinkan oleh pabriknya, sementara kalau yang
memboceng itu penumpang dianggap tidak aman oleh Kementerian Perhubungan?
Setahu saya, jauh
sebelum ada Go Jek speda motor, di Tanjung Priok juga ada sejenis itu tetapi
menggunakan sepeda ontel. Ojek dengan
sepeda ontel itu sudah ada sejak dulu dan baru hilang ketika muncul sepeda
motot. Bagaimana dengan bentor, yaitu
becak yang digandeng dengan sepeda motor.
Pengalaman saya naik bentor di Gorontalo, rasanya jauh lebih
menakutkan. Stuktrurnya persis becak,
tetapi melaju dengan kecepatan sepeda motor.
Dari sisi masyarakat,
ojek baik ojek pangkalan maupu Go Jek (ojek on line) sangat diperlukan. Kita dapat membayangka, jika tidak ada ojek
bagaimana orang-orang di kampung harus dapat menuju tempat kerja atau tempat
tujuan lain dengan cepat? Naik taksi
tentu jauh lebih mahal yang mungki tidak terjangkau. Mau naik bus kota, tempat tinggal mereka jauh
dari rute bus kota atau angkutan kota lainnya.
Jadi bagi masyarakat seperti itu, ojek bagaikan “dewa penolong” karena
memberikan kemudahaan transportasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar