Kali ini saya di Eropa
selama 3 minggu dan bekerja penuh sebagai peneliti tamu di Institut Technik und
Bildung (ITB)-Universitat Bremen.
Anggaran yang diberikan oleh Unesa cukup tetapi juga tidak mubru-mubru,
sehingga saya harus berusaha berhemat.
Apalagi saya mengajak isteri, sehingga tentu ada tambahan
pengeluaran. Memang, di satu sisi bisa
berhemat karena isteri masak sendiri untuk sarapan dan makan malam, tetapi
untuk makan siang saya harus makan di kantin universitas yang untuk ukuran
Indonesia cukup mahal. Di samping itu
tentu harus menemani jalan-jalan pada hari Sabtu dan atau minggu, yang tentu
memerlukan biaya. Apalagi akan bosan jika selama 3 minggu terus makan malam di
rumah.
Isteri saya membantu
mengatur bagaimana berhemat, agar uang yang diberi Unesa cukup dan tidak perlu
nombok. Ternyata harus makan “gaya
londo”, karena bahan untuk membuat makanan gaya Indonesia jauh lebih mahal.
Apalagi jika harus membeli di restoran, kantong dapat kobol-kobol. Di kantin universitaspun, makanan yang mirip
di Indonesia, misalnya “kare-yang mirip kare ayam di Surabaya” harganya minta
ampun. Oleh karena itu, ya terpaksa di
rumah maupun di kampus belajar makan “koyo londo”.
ITB adalah sebuah
research center, walaupun juga mengelola program pendidikan Vokasi untuk S1 S2
dan S3. Namun programnya bersifat inter
faculty, sehingga ITB lebih banyak berperan sebagai “perancang program-pengatur
skenario”, sedangkan matakuliah banya diambil di fakultas yang relevan,
misalnya matakuliah tentang “mesin” mahasiswa menempuh di Fakultas Metal and
Production Engineering, matakuliah Pedagogy (general) mahasiswa menempuh di
Faculty of Education. Jadi hanya
matakuliah pendidikan vokasi yang ditempuh di ITB. Jumlah mahasiswapun juga sedikit, hanya
sekitar 10 oarng setiap angkatan S1 dan S2 (karena programnya menerus). Jadi secara total hanya ada sekitar 50 orang
mahasiswa. Akibatnya, suasana di ITB mirip research center dibanding fakultas
yang ada banyak mahasiswa.
Mungkin karena itu,
sehingga di kompleks gedung ITB tidak ada kantin. Untuk makan siang staf ITB (termasuk saya)
harus ke kantin kampus induk yang berjarak sekitar 0,5 km, menyeberang jalan di
depan gedung ITB, melewati kompleks Internatinal School dan taman kampus.
Sepertinya itu kantin “kelas dosen”, buktinya yang makan disitu sebagai besar
staf dan sangat jarang ada mahasiswa.
Karena ingin belajar
makan gaya Eropa dan daftar menu berbahasa Jerman, saya harus bertanya kepada
Dr. Pekka Kamaranain-counterpart saya di ITB, apa bahasa Inggris-nya makanan
yang ada di daftar menu. Untunglah Pak
Pekka-begitu saya memanggil, sabar dan selalu menterjemahkan. Memang orang Finlandia itu seorang peneliti
senior yang sudah biasa menjadi counterpart peneliti tamu, sehingga tahu apa
yang harus dilakukan untuk “partner asingnya”.
Hari pertama, saya
makan siang dengan salad plus chicken wings (sayap ayam). Porsinya sangat
besar, satu piring besar penuh berisi sayuran, tomat, butiran jagung rebus dan
sayap ayam yang sudah digoreng. Semua
itu disiram dengan minyak zaitum. Bagaimana rasanya? Ya, begitulah. Saya tidak dapat menjelaskan. Dimakan saja, anggap
saja belajar makan gaya londo.
Hari kedua, saya makan
pasta dicampur daging dan tomat.
Dagingnya besar-besar, tomatnya cukup banyak. Jadi satu piring besar
penuh. Kalau kemarin, saya mampu
menghabiskan salad dengan saya ayam, ternyata pada hari kedua saya tidak mampu
menghabiskan makan siang. Bagaimana
rasanya? Sekali lagi, saya tidak dapat
menjelaskan. Yah, dimakan saja. Toh saya
harus belajar makan menu seperti itu.
Hari ketiga saya makan
salad lagi, tetapi tidak degan sayap ayam, melainkan dengan ikan tuna yang
sudah dicincang. Semula, ketika Pak
Pekka menterjemahkan menu, saya kira ikan tuna yang dipotong terus
digoreng. Ternyata ikan tuna yang
direbus terus dihancurkan. Bagaimana
rasanya. Yah lumayan, walupun tidak seenak salad dengan sayap ayam yang
digoreng. Begitulah makan siang di
kantin kampus.
Bagaimana dengan
sarapan? Supaya mudah, kami-saya dengan
isteri-cenderung sarapan roti tawar yang dipanggang dengan diberi keju atau
selai. Kadang-kadang juga diberi telor
dadar atau daging yang direrbus digoreng dengan mentega. Maklum tidak punya minyak goreng.. Di samping itu minum kopi susu dan makan
pisang cavendis. Untuk makan malam,
kadang-kadang makan mie bawaan dari Indonesia, dan yang sering makan kentang
rebus dengan daging yang digoreng, plus sayuran ala Jerman. Masaknya diakali bermacam-macam, tetapi
bahannya ya itu-itu saja. Jadilah,
selama hampir 2 minggu ini tidak pernah makan nasi. Ternyata perut kami dapat menyesuaikan
diri. Keterpaksaan tampaknya membuat
kita survive ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar