Tanggal 26 Oktober
2016 kemarin saya diundang oleh Dr. Irene Malcolm, head of Centre for Academic
Leadership and Developent, University of Heriot Watt, untuk mengikuti symposium
dengan tema “Enhancing Teaching through Innovative Pedagogies and Technology”. Dalam borsur disebutkan yang akan menjadi
keynote speaker adalah Prof Linda Price, head of Technology Enhancement
Learning sekaligus professor of educational technology dari Kingston University
London dan juga professor of engineer di Lund University Swedia.
Walaupun pada hari itu
saya sebenarnya punya acara, saya memutuskan untuk hadir, karena Heriot Watt
terkenal sebagai university of applied sciences yang konon sangat kuat di
bidang teknologi yang terkait dengan enerji.
Juga terkenal dengan risetnya di bidang renewable energy. Apalagi, saya diundang khusus oleh Irene dan
bukan hanya dari melihat brosus.
Acara dimulai ja 13.00
dengan registrasi dan makan siang (tentu gaya Eropa). Saya memutuskan datang
sedikit lebih awal, dengan harapa dapat bertemu dengan beberapa peserta untuk
berkenalan dan mencari tahu siapa yang punya minta riset yang sama. Ketka saya datang, baru ada 3 orang yang
berdiri di luar ruang, yaitu Irene, Prof Linda dan seorang perwakilan Heriot
Watt di Malaysia. Jadilah kami ngobrol
bertiga, sambil menikmati makan siang.
Saya juga sempat dikenalkan dengan Lindsay, yang punya riset tentang
pembelajaran. Juga sempat ngobrol dengan
dosen dari school of textile yang saya lupa namanya.
Ketika pukul 13.40
acara dimulai dan dibuka oleh Professor John Sawkins, deputy vice
principal. Yang mengagetnya ternyata
symposium itu wahana menawarkan semacam teaching grant kepada dosen untuk
meningkatkan mutu perkuliahan. Prof Sawkins
menjelaskan uangnya tidak banyak, hanya 8.000 punds dan itu untuk seluruh
kampus (saya tidak tahu berapa per orang). Yang dipentingkan adalah agar dosen
dapat saling bertugas pengalaman tentang apa dan bagaimana mengajar yang
baik. Mendengar itu, dalam hati saya
berkata “lha kalau itu, Unesa pernah melakukan dengan teaching grant-tetapi
tidak sukses, karena konon dosen menganggap dananya terlalu kecil”.
Setelah sambuatan Prof
Sawkins, Dr. Irene Malcolm menjelaskan acara, sambil memperkenalkan tamu dari
luar Heriot Watt University, tentu termasuk saya. Setelah itu, Prof Linda Price menyampaikan
keynote speech. Sebenarnya saya lebih
tertarik melihat orangnya, karena cantik-walaupun sudah berumur. Berambut pirang, dengan gaun merah diatas
lutut dan stocking warna hitam, dengan gaya presentasi yang cukup baik.
Hanya saja pidatonya,
menurut saya, sudah kuno. Prof Price memulai uraiannya dengan menunjukkan
gambar/foto yang membandikan dapur jaman kuno dengan dapur sekarang. Alat mencuci baju jaman kuno dengan mesin
cuci modern. Mobil jama kuno dan mobil listrik sekarang. Itu semua untuk mengambarkan “dunia sudah
berubah”. Setelah itu, beliau
menunjukkan foto anak-anak sekolah jaman dahulu dan sekarang, yang menurutnya
tidak banyak berubah. Dia memberi uraian
panjang lebar untuk meyakinkan “dunia luar sekolah sudah berubah, mengapa dunia
pembelajaran tetap saja seperti jaman dahulu”.
Setelah itu, beliau
menunjukkan gambar guru yang menghadapi gajah, monyet, ikan dan beberapa
binatang lainnya. Pada gambar itu
tertulis, “for fair treatment you have to learn....”. Tampaknya beliau ingin
menggambarkan, anak memiliki potensi masing-masing, sehingga tidak cocok prinsip
“one fit for all”. Masih banyak
ilustrasi yang ditayangkan.
Ujung-ujungnya beliau
menyarankan pergeseran paradigma pendidikan, dari “instruction into learning”,
dari “assessment of learning into assessment fo learning”, memperkenalkan
problem based learning/project based learning dan authentic assessment. Memperkenalkan life skills dan
seterusnya. Sekali lagi, dalam hati saya
berguman “lha itu sih sudah kami diskusikan beberapa tahun lalu di Indonesia”.
Ketika mendapat
kesempatan bertanya, saya tidak bertanya tetapi berbagi pengalaman. Saya sampaikan bahwa saya pernah menyampaikan
paper di TVET International Conference
di Jerman September lalu, tetang Project Based Learning untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis dan kreativitas. Saya juga menyampaikan paper itu dapat
diperoleh online pada conference proceeding.
Mudah-mudahkan dapat memperkaya (enrichment what we are discussing
today).
Ketika pulang, naik
bus saya merenung. Sebenarnya kita tidak
tertinggal, bahkan sedikit lebih maju dengan negara lain, paling tidak dengan
Heriot Watt University. Mungkin saja,
karena Heriot Watt adalah universitas yang fokus pada teknologi, sehingga “tertinggal”
dalam bidang pembelajaran. Namun,
bukankah yang menyampaikan itu Prof Linda Price, seorang profesor dari bidang
Educational Technology? Saya jadi
teringat, perbandingan antara Ki Hajar Dewantara dengan Benyamin Bloom. Taksnolomi Bloom yang sering kita kutip itu,
pertama kali disampaikan pada tahun 1956.
Konsep itu sangat mirip dengan apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara
pada tahun 1930, di depan rapat ulang tahun pertama Taman Siswa. Jadi Ki Hajar 26 tahun lebih dahulu konsep
itu. Tetapi mengapa yang dikenal di
dunia internasional adalah Bloom? Dan bukan Ki Hajar? Mengapa pemikiran kita yang ternyata “lebih
maju” dibanding Prof Linda Price, itu tidak dikenal oleh kalangan
internasional?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar