Ketika membantu
bersih-bersih di rumah anak di Edinburgh, saya menemukan botol berisi
biji-bijian. Ada beras, ada semacam gandung dan berbagai bijian lain. Tempatnya botol kaca yang mungkin bekas botol
selesai atau sejenis itu. Saya agak lama
mengamati, karena bingung itu bijian apa dan untuk apa disimpan di almari
bareng perlengkapan dapur. Apa untuk
dimasak? Kalau ya, mestinya tidak
dicampur seperti itu. Apa itu sisa? Jika ya, untuk apa disimpan.
Karena tidak menemukan
jawabannya, saya bertanya kepada Kiki-anak saya, untuk apa bijian-bijian itu. Jawabannya dan penjelasannya sungguh
mengagetkan. Biji-bijian untuk
dipersiapkan untuk makanan burung ketika musim dingin (winter) tiba. Di musin
itu sangat sedikit pohon yang berbuah, sementara tanah akan banyak salju. Dahulu ketika belum banyak perumahan dan
masih banyak pohon-pohon besar, burung masih dapat mencari buah-buahan dari pohon
seperti itu. Sekarang pohon besar sudah
banyak berkurang, karena ditebang dan lahannya untuk perumahan. Oleh karena itu, agar burung tidak mati
kelaparan pada musim dingin, orang pada memberian makanan. Sambil menunjuk ke rumah sebelah, Kiki
menunjukkan bahkan tetangga sebelah memiliki tempat untuk menaruh makanan burung
itu. Mirip kandang merpati, dengan
tinggi sekitar 1,5 meter, lebih kecil dan tidak punya dinding.
Mendengar penjelasan
itu, isteri saya berkomentar “di rumah tenggilis juga da tampah yang digantung
di lantai atas dan disitu diletakkan nasi basi”. Memang itu benar, namun rasanya alasannya
berbeda. Di kampung saya, Tenggilis
Mejoyo Surabaya, mungkin banyak orang yang menjemur nasi basi dan membiarkannya
dimakan burung. Namun saya menduga,
tujuannya bukan memberi makan burung, tetapi agar nasi basi dapat
dimanfaatkan. Sedangkan di Edinburgh,
orang yang menaruh makanan burung di luar rumah bertujuan agar di musin dingin
burung tetap mendapatkan makanan, sehingga tidak mati kelaparan.
Selesai itu, saya
mencoba mengingat kejadian di kampung saya, pedesaa pinggiran Ponorogo, tahun
1960 akhir atau tahun 1970an. Waktu itu
hama tikus merajalela dan merusak segala macam tumbuhan yang ditanam
petani. Padi, kedele, jagung hampir
tidak ada yang panen. Kemudian muncul
pestisida, yang kalau tidak salah nama endrin.
Petani berusaha membasmi tikus dengan racun itu. Caranya endrin dicampur
dengan berbagai bahan atau makanan yang diyakini disenangi tikus. Seingat saya, tikus memang berkurang, tetapi
burung-burung juga banyak yang mati.
Mungkin ikut makan racun yang sebenarnya untuk tikus. Seingat saya, waktu itu burung perkutut,
derkulu, dan burung-burung lain yang biasanya banyak bertebangan di kebun
hampir tidak ada lagi. Kicau burung yang
biasanya ramai di pagi hari juga sangat jarang terdengar.
Saya tidak tahu pasti
bagaimana persaan masyarakat saat itu.
Seingat saya, kami-orang di pedesaan itu, juga tidak pernah memikirkan.
Tidak merasa kehilangan atau risau denga tidak banyaknya burung di sekitar
rumah. Memang kami sering “rasan-rasan”
tentang burung yang banyak mati karena makan racun tikus. Namun seingat saya, kami tidak pernah risau
dan tidak merasa bersalah dengan kejadian itu.
Baru sekitar awal
tahun 1990an ketika burung kembali banyak, saya gembira ketika di RT kampung
kami ada larangan menembak burung. Saya
pikir ada kemajuan pemikiran, agar burung tidak habis lagi. Lebih gembira lagi, ketika larangan seperti
itu sekarang banyak diterapkan di berbagai lokasi dan kampus. Tampaknya kehadiran burung di sekitar rumah
telah menjadi kenikmatan yang dibutuhkan orang-orang di kampung, baik di
Ponorogo maupun Surabaya atau daerah lain.
Kembali pada fenomena
memberi makan burung pada musim dingin di Edinburgh, itu karena masyarakat
memerlukan kehadiran burung sebagai bentuk kenyamanan lingkungan atau karena
kesadaran masyarakat untuk memberi makan burung agar mereka tidak mati
kelaparan di musim dingin. Pada alasan
pertama, burung difahami sebagai bentuk hiburan yang harus ada, sedangkan yang
kedua burung difahami sebagai makhuk yang harus dijaga kehidupannya. Jujur saya tidak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar