Karena ke Jerman
mengajak isteri, tentu tidak elok kalau hari minggu di rumah saja. Oleh karena
itu, walaupun di kejar-kejar membuat
rangkuman data penelitian, hari minggu saya dan isteri jalan-jalan. Toh punya weekly ticket, sehingga dapat naik
kereta dan bus, kemana saja asal dalam kota Bremen. Minggu pagi itu, kami memutuskan untuk
melihat beberapa lokasi di sekitar pusat kota, dan dilanjutkan ke Gropelingen
untuk makan siang sambil membeli kebutuhan untuk masak. Di Gropelingen ada supermarket yang menjual
daging halal.
Pada awalnya kami
ingin melihat kincir angin. Tetapi
setelah kami baca informasi di internet ternyata itu hanyalah sebuah restoran
yang kebetulan lokasinya di dekat kincir angin tua. Oleh karena itu rencana ke kincir angin kami
batalkan dan sebagai gantinya kami mengunjungi lokasi wisata di pinggiran
sungai, yang memang disediakan untuk jalan-jalan. Kebetulan pagi itu cerah, sehingga sangat
banyak orang jalan-jalan menikmati sinar matahari. Sebagaimana diketahui di Eropa, sinar
matahari merupakan sesuatu yang “mahal”.
Sepertinya daerah itu
memang dirancang untuk wisata sungai.
Ada perahu besar yang diubah menjadi restoran, ada perahu yang dapat
dinaiki bagi pengunjung yang ingin menyusuri sungai, ada orang-orang latihan
dayung, dan di pinggiran sungai besar itu ada jalan berpaving untuk sekedar
jalan-jalan. Tentu mobil tidak boleh
lewat di situ atau bahkan tidak dapat, karena untuk masuk atau turun ke jalan
paving itu, orang harus melewatu tangga cukup panjang. Di pinggiran jalan paving itu ada tempat
duduk bagi yang pengin istirahat.
Saya berdua agak lama
di lokasi itu. Ikut orang-orang bule
menikmati sinar matahari pagi. Setelah
puas, kami naik kembali ke jalan umum dan naik bus ke HBF (central
station). Tujuannya untuk mencari tram
ke Gropelingen sambil melihat seperti ada dalamnya central station. Selama ini kami hanya di luar saja untuk
ganti bus atau tram. Pada hal di
dalamlah tempat stasium kereta antar kota yang dilengkapi dengan pertokoan khas
stasiun gaya Eropa.
Karena akan ke
Gropelingen dan mungkin sampai tengah hari, maka sekalian akan mencari tempat
pipis di HBF. Oleh karea itu, begitu
masuk yang kami cari toilet. Kebetulan di dekat gerbang ada penunjuk arah yang
berbunyi “central toilet”. Petunjuk itulah yang kami ikuti. Namun kami tidak menemukan. Kami mencoba naik ke platform, karena seingat
saya toilet di central station Amsterdam juga di platform. Ternyata tidak ada. Kami turun lagi dan mencoba menyusuri
petunjuk dari gerbang masuk. Tetap tidak
menemukan. Akhirnya isteri saya bertanya
kepada gadis muda yang menjual donat.
Ternyata yang tertulis
di pintu toilet bukan “toilet” atau “WC”-seperti di Belanda atau “rest
room”-seperti di Amerika, tetapi “sanitair”.
Itulah yang menyebabkan kami tidak menemukan. Setelah masuk kami kaget, karena harus bayar
1 euro. Karena tidak punya koin 1 eoro,
terpaksa kembali ke penjual donat untuk tukar uang. Jadilah kami pipis dengan membayar 1 eoro
alias 15 ribu rupiah.
Pada awalnya kami
tidak merasa ada yang aneh. Toh hanya 1 eoro.
Namun sambil berjalan dan melihat-lihat barang di pertokoan, kami jadi
berpikir 1 euro itu kan setara dengan 15 ribu rupiah ya. Jadi untuk pipis di HBF orang harus membayar
15 ribu rupiah.
Selesai melihat-lihat
di pertokoan dalam HBF kami ke Gropelingen dengan naik tram nomer 10. Ternyata cukup jauh. Isteri minta kami turun di halte pas sebelum
Gropelingen, karena disitulah terletak toko yang menjual daging halal. Namun perut sudah lapar dan kebetulan lewat
di depan rumah makan Turki, sehingga kami memutuskan makan siang lebih dahulu.
Kami masuk restoran
kecil itu yang kebetulan lumayan ramai.
Seingat saya, di dalam meja untuk 2 orang sudah penuh, sehingga kami
harus menunggu beberapa saat. Setelah
mendapat tempat duduk kami mencoba memilih makanan. Namun karena daftar menu menggunakan bahasa
Jerman, kami memilih atas dasar gambarnya. Akhirnya kami memilih makanan yang
terdiri dari paduan daging ayam yg dipanggang ala kebab, kentang goreng ala McDonald
dan dicampur dengan sald.
Ketika makanan datang,
ya ampun porsinya “segunung”, sehingga saya dengan isteri saling memandang
sambil tersenyum. Kami beranikan
bertanya, apakah bisa yang satu dibungkus dan kami akan makan satu porsi untuk
berdua. Sepertinya penjual tidak faham
apa yang kami inginkan, dan terima kasih kepada pengunjung di meja sebelah yang
menterjemahkan permintaan kami. Sambil
tersenyum penjual (hanya dua orang yang di situ yang meracik makanan dan
sekaligus menyuguhkan, sehingga sangat mungkin mereka itu pemiliknya),
membungkus makanan kami dengan grenjeng (alumunium foil) dan dibungkus lagi
dengan kertas. Jadilah kami makan siang dan pulangnya membawa bontotan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar