Minggu pertama di
Bremen saya pengin sholat jum’at.
Walaupun musafir, saya ingin sholat jum’at, karena beberapa kali ke
Bremen belum pernah sholat jum’at. Apalagi kali ini saya akan di Eropa selama 3
minggu. Mumpung kali ini, sebagai peneliti waktu saya
tidak terlalu ketat. Kamis malam,
dibantu isteri saya berusaha mencari informasi dimana masjid yang dekat dan
mudah dijangkau dengan tram atau bus. Akhirnya mendapatkan, yaitu masjid Al
Fatih di Burgermeister Schmidt Strasse. Dari kampus ITB, saya dapat menggunakan tram 6
tujuan bandara turun di HBF, terus ganti tram no 10 tujuan Gropreingen dan
turun di Faulen Strasse.
Karena pernah bekerja
di Indonesia dan tahu kalau saya muslim (mungkin karena isteri saya
berkerudung), Kamis sore Pekka bertanya apakah saya ingin bekerja hari Jum’at,
saya menjawah “ya, but for only a half day. I will leave for Jum’at pray on
12.15”. Sejak datang di Bremen isteri saya sudah
mengecek jadwal waktu sholat dan untuk dhuhur pukul 13.15. Menurut informasi di internet dari kampus ITB
Bremen Univ ke masjid Al Fatih hanya memerlukan waktu 27 menit. Jadi saya yakin dengan berangkat pukul 12.15,
masih cukup waktu.
Diskusi pada Jum’at
pagi dengan topik work process learning sangat intensif dan menarik. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul
12.15. Segera saya minta diri, tetapi
Pekka masih ingin memberikan beberapa bahan untuk “week end”. Akhirnya saya baru dapat meninggalkan “kantor”
di ITB pada pukul 12.22. Saya segera
berjalan dengan cepat ke halte tram dengan harapan ada tram 6 yang menunggu.
Ternyata tidak
ada. Di sreen tampak tram no 6 yang
tercepat kurang 13 menit, pada hal jam sudah menunjukkan pukul 12.30. Saya risau betul apakah dapat mengejar sholat
Jum’at. Yang anek, layar sudah menunjuk
angka 0 yang artinya waktunya kereta datang, tetapi tidak ada. Sampai kereta no 6 berikutnya juga
menunjukkan angka 0, kereta tetap tidak ada.
Pada hal banyak orang yang sama-sama menunggu di halte. Ada wanita muda yang menggendong anaknya yang
masih sangat kecil. Sepertinya mereka juga menggerutu, hanya saja saya tidak
mengerti.
Akhirnya pukul 12.46
tram no 6 datang, dan saya segera naik.
Tram sampai HBF pukul 13.08, saya segera turun dan pindah ke jalur tram
6. Untung tidak lama tram datang dan
segera saya naik. Sampai di halte Faulen strasse pukul 13.22. Saya segera turun dan berjalan ke arah
Burgermeister Schimdt Strasse untuk mencari masjid Al Fatih. Ketemu.
Masjidnya berada di pertokoan dan hanya ada tanda gambar simbul masjid
di jedela kaca. Namun, tampak sepi dan
tidak ada tanda-tanda sholat Jum’at.
Pintunya juga tertutup rapat.
Saya berdiri agak lama
di luar, dengan harapan ada orang yang kira-kira muslim dan ke masjid untuk
tahu dimana pintu yang terbuka. Tidak
ada. Yang ada justru rombongan anak-anak
mudah berkulit hitam dengan pakaian dan gaya rambut yang aneh-aneh. Saya berjalan minggir ke arah dengan Faulen
Strasse, takut ada apa-apa. Kebetulan
ada orang yang saya duga orang Turki berdiri disitu sambil merokok.
Saya mendekat dan dia
sepertinya tahu saya orang Asia, sehingga dia yang menyapa dulu dengan bahasa
Jerman yang saya tidak faham. Yang dapat
saya tangkap, dia betanya apakah saya orang Malaysia, Korea atau China. Saya menjawab “Indonesia”. Terus dia nyerocos, sepertinya cerita tentang
Indonesia yang dia tahu. Saya memotong “excuse
me, do you speak English. I do not speak German”. Baru dia jawab “yes a litle”. Terus nyerocos
mengatakan kalau dia dapat informasi kalau Indonesia itu subur, bersih dan
sebagainya. Dia juga mengatakan di Jerman sekarang susah cari duit. Ketika saya tanya, dimana masjid, dia hanya
angkat bahu. Sambil menunjuk arah masid
Al Fatih, saya bertanya dimana pintu masuk masih Al Fatih. Kembali dia hanya angkat bahu. Saya tidak berani bertanya lagi, khawatir dia
tersinggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar