Sudah empat hari saya
menjalani hidup sebagai peneliti tamu di Institut Technik und Bildung (ITB)
Bremen University Jerman. Ternyata nikmat. Apa yang saya bayangkan sejak
lengser sebagai rektor menjadi kenyataan. Setiap pagi jam 09 saya berangkat
dari apartment di Olgastrasse 19, jalan kaki sekitar 1,5 km ke pemberhentiann
tram no 10, bernama St Jurganstrasse.
Tramnya sangat bagus dan di tempat pemberhentian itu ada layar yang
menunjukkan tram kurang berapa menit lagi datang. Jadi kita dapat mengetahui berapa lama harus
menunggu.
Biasanya sekitar 5
menit tram sudah datang. Naik tram itu
sampai di Central Station yang orang biasa menyebut HBF (Huptbahnhof). Tramnya sangat nyaman, dan di setiap gerbong
ada layar kecil menunjukkan kereta di posisi mana dan tempat pemberhentian apa
yang segera tiba. Juga ada suara yang
menyebut nama pemberhetian akan tiba.
Jadi penumpang tidak akan kelirun turun.
Di HBF saya harus
turun dan ganti tram no 6 yang menuju ITB Bremen University. Kebetulan jalur tram no 10 dan no 6
bersebelahan, jadi begitu turun dari tram no 10, kemudian menyeberang jalur
tram dan langsung dapat menunggu di platform tram no 6. Tram no 6 sama baiknya dan yang paling mudah
pemberhentian di dekat ITB disebut universitat nord (universitas bagian utara) adalah
pemberhentian terakhir. Dengan demikian
saya tidak kawatir salah turun. Biasanya
saya sampai di “kantor” sekitar jam 10.
Jadi sekitar 1 jam perjalanan dari apartmen ke ITB.
Jarak antara
pemberhentian tram no. Dengan gedung ITB sekitar 1 km, sehingga setiap hari
saya harus jalan kaki sekitar 5 km, pulang baik. Belum lagi ditambah kalau makan siang harus berjalan ke kantin sekitar 0,5 km. Harus jalan cepat karena udara cukup dingin
sekitar 10 derajat. Walaupun sudah
memakai jas panjang (over coat) tetap saja terasa dingin, sehingga harus
berjalan dengan cepat. Mengetahui ini,
Kiki-anak saya yang tinggal di Edinburgh, mengatakan “ayah akan langsing
nanti”.
Saya beruntung karena
Prof. Michael Gessler, direktur Teaching-Learning-teman baik yang selama ini
mengatur kedatangan saya-sedang di Namibia, sehingga saya disilahkan
menggunakan kantornya untuk tempat bekerja. Ruangannya sekitar 4x4 m, ada meja
kerja dan ada meja rapat berbentuk bulat dengan 6 kursi. Juga ada rak buku yang
berisi banyak sekali buku referensi. Ada
juga meja kecil tempat alat membuat kopi atau teh. Ada juga flipchart yang dapat digunakan untuk
menulis ketika rapat. Di ruang inilah
selama 4 hari saya bekerja.
Bisanya saya bekerja
sampai jam 15 sore dan diselingi makan siang antara jam 12-13. Untuk makan siang saya dan beberapa peneliti
ke kantin. Seperti tradisi di dunia barat,
walaupun kita makan bersamaan , kita membayar masing-masing. Tentu makan siang gaya bule. Ingat saya hari pertama saya makan salad plus
sayap ayam digoren. Hari kedua makan
daging sapi plus mie. Hari ketiga makan
daging kalkun plus kentang. Kalau kopi
atau teh kami dapat membuat sendiri, baik di dapur atau dengan alat yang ada di
kantor masing-masing.
Partner penelitian
saya Dr. Pekka Kamarainen, orang dari Finlandia, sudah mengatur jadwal saya
dengan sangat baik. Hari pertama saya diskusi umum bersama dia, Larisa Freund
dan Susanne Kopatz dan diakhiri dengan makan siang. Setelah itu saya harus membaca dokumen dan
referensi yang terkait dengan apa yang kami diskusikan. Bekerja sendiri sampai jam 15, terus pulang.
Pada hari kedua,
seperti hari pertama mulai pukul 10.30 saya diskusi berdua dengan Pekka, tetapi
sudah menukik ke hal-hal yang sangat ingin cari. Saya sudah tahu kebiasaan orang barat, kita yang
harus aktif bertanya ini dan itu, bahkan menunjuk hasil bacaan ini dan itu
untuk mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut. Nah, kepada Pekka saya tunjukkan hasil bacaan
saya di beberapa literatur antara lain tulisan Waldemar Baurer berjudul TVET
Teachers and Instrucors in Germany yang dimuat di buku International Perpective
on Teachers and Lecturers in Technical dan Vocational Education. Dari situlah diskusi bergulir. Pengalaman panjang Pekka yang bekerja di
berbagai negara menguntungkan saya, karena dapat memperoleh perspektif
internasional secara komprehensif.
Apalagi Pekka sebagai senior researcher memiliki segudang hasil
penelitian.
Pada hari ketiga, saya
melakukan diskusi berseri. Pertama
dengan Selin Arusoglu, seorang mahasiswa S3-berasal dari Turki- yang meneliti bagaimana
anak-anak muda imigran mengikuti pre-vocational training karena dianggap tidak
memiliki bekal yang cukup untuk ikut vocational training. Yang dimaksud dengan vocational training itu,
pelatihan kerja yang dilaksanakan dengan pola dual system antara sekolah (pusat
pelatihan) dan industri. Selin
menunjukkan hasil-hasil risetnya tentang policy dan pelaksanaan pre-vocational
training di beberapa industri, termasuk kritiknya. Ada kesan Selin mempertanyakan mengapa
peserta pre-vocational training sebagian besar anak-anak emigran. Pada hal mereka sudah tinggal di Jerman (ikut
orangtuanya sbg emigran) dan bahkan sudah sekolah di sekolah Jerman.
Pada sesi kedua, saya
diskusi dengan Larisa Freund tentang pola pendidikan calon guru di Bremen University. Untuk guru sekolah umum dilaksanakan di
Faculty of Education dan untuk vokasi dilaksanakan di ITB. Larisa adalah dosen muda yang mengajar di
ITB. Dari Larisa saya mendapat gambaran utuh bagaimana pola pendidikan di ITB
dan bagaimana perbedaan dengan di Faculty of Education yang menghasilkan guru
di sekolah umum. Dia juga menjelaskan
kalau profesi guru sangat menarik bagi anak muda di Jerman, karena gaji yang
cukup tinggi, jaminan kesehatan secara penuh dan karier sepanjang hidup.
Untuk masuk ITB
(sebagai calon guru vokasi) seseorang harus punya pengalaman kerja atau magang
di industri yang relevan minimal 1 tahun.
Setelah masuk harus menempuh studi sampai jenjang master, karena guru di
Jerman haruslah lulusa master (S2).
Setelah itu, masih harus menempuh probation antara 1-1,5 tahun di
sekolah untuk mendapatkan sertifikat atau lisensi mengajar.
Pada hari ke-empat,
saya lebih banyak bekerja sendiri dengan membaca dokumen, jurnal dan buku yang
disuplai oleh Pekka. Memang ada
kesempatan diskusi dengan Pekka dan beberapa teman yang baru pulang dari
Namibia, tetapi sifatnya diskusi bebas dan saling tukar pengalaman, karena
mereka juga ingin tahu keadaan di Indonesia.
Tentu diselingi kelakar. Misalnya
ketika Larisa bertanya mengapa di Bali banyak orang bernama Wayan-akhir tahun
2016 Larisa ke Bali. Ketika saya
jelaskan kalau wayan itu artinya anak nomer 1, made anak nomer 2, nyoman anak
nomer 3 dan ketut anak nomer 4, Larisa menyela “o that’s why there many wayans”. Saya sambung dengan kelakar komentator sepak
bola di Bali, yang mengatakan “bola dari wayan, diterima ketut...dst.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar