Kamis, 20 Oktober 2016

MENGAPA DUAL SYSTEM DI JERMAN BERJALAN?



Sekarang mengapa dual system pada sekolah kejuruan di Jerman berjalan baik, ketemu jawabannya, walaupun belum tuntas.   Jawaban itu diperoleh melalui diskusi panjang dan intensif dengan Matthias Reinhardt-guru di TBZ (sebuah sekolah kejuruan/Vocational School) di Bremen, Nils Petermann-mahasiswa program Master di ITB-Bremen University, sekaligus sebagai teknisi Lab Automobil dan mantan Meister Craftman di sebuh workshop, serta  dengan Dipl. Ing. Jurgen Uhlig-seorang pengembang sekolah di Bremen. Tentu dibantu dengan membaca banyak dokumen dan literatur yang untungnya tersedia berlimpah di ITB Bremen University.

Beberapa kata kunci itulah yang saya bagi dengan pembaca blog ini.  Pertama, setiap sekolah memiliki partner DUDI yang permanen.  Misalnya Sekolah Kejuruan A berpartner dengan industri X, Sekolah Kejuruan B berpartner dengan DUDI Y dan Z. Permanen artinya sepanjang waktu itulah pasangan antara sekolah dan DUDI.  Jika salah satu menghentikan berpartner, maka program pendidikan juga dihentkan. Tanpa memiliki partner DUDI yang permanen, sekolah tidak akan dibuka.  Jerman beruntung, karena DUDI yang memenuhi syarat sebagai partner sekolah jumlahnya sangat banyak, sehingga mencukupi untuk melayani sekolah.

Kedua, program seahlian yang dibuka, jumlah siswa dan bahkan kurikulum dibuat bersama antara sekolah dan DUDI partnernya.  Bahkan pola dual-nya juga disepakati bersama.  Dengan begitu dapat dihindari adanya siswa yang tidak memperoleh tempat prakerin (PKL), dapat dihindari adanya ketidaksesuaikan bekal yang diperoleh di sekolah untuk memulai PKL di DUDI.

Ketiga, sekolah kejuruan di Jerman tidak mengenal matapelajaran. Sebagai gantinya siswa belajar apa yang disebut dengan Learning Area (LA), atau kompetensi tertentu.  Jadi benar-benar menerapkan competence based secara utuh.  Jenis dan tingkatan LA disusun atas dasar kebutuhan tenaga di DUDI.  Misalnya, dalam bidang keahlian otomotif dikenal LA antara lain sistem rem, sistem kelistrikan, sistem bahan bakar, bahkan sistem pengaturan ban/roda dan sebagainya.  Setiap LA dipelajari dalam 3 minggu di sekolah dan 6 minggu di DUDI.  Dalam satu sementer siswa belajar 2 LA saja dan itu dipelajari selama 6 minggu di sekolah dan 12 minggu di DUDI.  Jadi selama 3,5 tahun sekolah, siswa hanya belajar 12 LA plus 1 LA di semester akhir sebagai final project.

Ke-empat, pola pembelajaran di LA itu integrated dan project based learning.  Integrated, artinya ketika mendalami satu LA tertentu, siswa juga belajar Matematika, Fisika, dan “mapel” lain, tetapi sebatas yang diperlukan untuk mengerjakan LA itu.  Disinilah pentinga apa yang disebut dengan work process knowledge (WPK), yaitu pengetahuan tentang proses kerja untuk LA yang berangkutan.  Dengan dasar WPK itu dapat diketahui dukungan “mapel” apa saja untuk dapat mengerjakan LA tertentu.  Misalnya untuk LA mengganti ban mobil, siswa harus belajar beberapa bagian Matematika, Fisika dan Kimia yang terkait.  Yang menarik, dukungan “mapel” atau “pengetahuan teori/Matametika/Fisika/Kimia dsb” itu diberikan secara praktis oleh guru kejuruan yang mengampu LA yang bersangkutan.

Project based learning diterapkan, karena di setiap bagian akhir LA siswa harus belajar melakukan diagnosa terhadap problem yang terkait dengan LA yang dipelajari.  Misalnya apa yang terjadi jika ban kurang angin (kurang keras) atau sebaliknya.  Apa yang terjadi jika roda mobil tidak balans dan mengapa itu dapat terjadi dan sebagainya.  Mungkin semacam trouble shooting yang dikenal di Indonesia. Yang agak beda, pada setiap LA ada trouble shooting-nya.  Disinilah ditumbuhkan kemampuan berpikir kritis-analitis dan kreativitas untuk memecahkan masalah.

Kelima, sekolah dan DUDI mendapatkan manfaat dari dual system itu.  Sekolah mendapat manfaat karena tidak perlu menyediakan workshop besar dan juga tidak perlu menyediakan guru praktek.  Sebaliknya DUDI juga mendapat manfaat, karena siswa yang PKL dianggap sebagai tenaga magang dan tidak perlu dibayar.  Kok bisa begitu, berikut ini contoh yang dilakukan di bidang keahlian Automotif di TBZ Bremen.  Setiap tahun bidang keahlian itu menerima 120 siswa baru dan dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok A, B dan C.  Pada 3 minggu pertama kelompok A mulai belajar di sekolah, sementara kelompok B dan C masih melakukan orientasi.  Pada 3 minggu berikutnya kelompok B mulai belajar di sekolah dan kelompok A mulai belajar di DUDI.  Pada 3 minggu ketiga, kelompok A masih di DUDI, kelompok B mulai masuk DUDI, sedangkan kelompok C mulai belajar di sekolah.  Semua siswa tadi mempelajari LA-1.

Mulai 3 minggu ke 4, siklus kembali seperti pada 3 minggu pertama tetapi siswa mulai belajat LA-2.  Pada 3 minggu ke 7, siklus kembali seperti 3 minggu ke 1 tetapi siswa belajar LA-3.  Begitu seterusnya sampai akhir tahun ketiga, siswa belajar LA-12.  Nah, dengan demikian setiap saat hanya ada 1/3 siswa yang di sekolah, sedangkan 2/3 siswa lain sedang di DUDI.  Yang di DUDI itu, 1/2nya sudah punya pengalaman dan 1/2 baru.  Siswa kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 mengerjakan LA yang berbeda, sehingga siswa tidak akan berjubel.  Itulah yang menyebabkan DUDI senang karena mendapatkan siswa magang tanpa perlu bayaran.

Ke-enam, di DUDI ada meister yaitu seorang “teknisi ahli” yang bertugas membimbing siswa yang sedang PKL. Meister itu, di samping ahli dalam bidangnya juga pernah mengikuti pelatihan sehingga memperoleh sertifikar meister, sehingga tahu betul apa yang harus dilakukan dan juga dapat berdiskusi dengan guru yang menjadi partnernya di sekolah.  Dalam struktur kualifikasi di Jerman, sertifikat itu disetarakan dengan S!, yaitu level 6.  Jadi meister bukanlah orang sembarangan.  Lulusan sekolah kejuruan hanya mempunyai level 4.

Ketujuh, pada setiap akhir LA (sebelum pindah ke LA berikutnya) ada tes yang melibatkan guru dan meister untuk memutusan apakah seorang siswa sudah menguasai LA yang sedang dipelajari atau belum.  Dengan begitu kedua belah pihak faham dan merasa bertanggung jawab atas keberhasilan siswa. Setiap tahun ada evaluasi bersama tentang perjalanan pendidikan untuk memutuskan penerimaan siswa baru pada tahun berikutnya.

Apakah pola seperti itu dapat diterapkan di Indonesia?  Perlu kajian dan persiapan yang baik. Jika tergesa-gesa sangat mungkin tidak dapat berjalan.  Di Jerman semua sekolah kejuruan adalah sekolah negeri, sehingga pemerintah dapat mengendalikan dengan penuh. DUDI juga wajib menjadi partner sekolah dan bahkan setiap karyawan baru harus melewati pelatihan.  Berbeda dengan di Indonesia yang jumlah SMK nya sangat banyak, sementara jumlah DUDI yang memenuhi syarat hanya sedikit.

Tidak ada komentar: