Sekarang mengapa dual
system pada sekolah kejuruan di Jerman berjalan baik, ketemu jawabannya,
walaupun belum tuntas. Jawaban itu
diperoleh melalui diskusi panjang dan intensif dengan Matthias Reinhardt-guru
di TBZ (sebuah sekolah kejuruan/Vocational School) di Bremen, Nils
Petermann-mahasiswa program Master di ITB-Bremen University, sekaligus sebagai
teknisi Lab Automobil dan mantan Meister Craftman di sebuh workshop, serta dengan Dipl. Ing. Jurgen Uhlig-seorang
pengembang sekolah di Bremen. Tentu dibantu dengan membaca banyak dokumen dan
literatur yang untungnya tersedia berlimpah di ITB Bremen University.
Beberapa kata kunci
itulah yang saya bagi dengan pembaca blog ini.
Pertama, setiap sekolah
memiliki partner DUDI yang permanen. Misalnya
Sekolah Kejuruan A berpartner dengan industri X, Sekolah Kejuruan B berpartner
dengan DUDI Y dan Z. Permanen artinya sepanjang waktu itulah pasangan antara
sekolah dan DUDI. Jika salah satu
menghentikan berpartner, maka program pendidikan juga dihentkan. Tanpa memiliki
partner DUDI yang permanen, sekolah tidak akan dibuka. Jerman beruntung, karena DUDI yang memenuhi
syarat sebagai partner sekolah jumlahnya sangat banyak, sehingga mencukupi
untuk melayani sekolah.
Kedua, program seahlian yang dibuka, jumlah siswa dan bahkan kurikulum dibuat
bersama antara sekolah dan DUDI partnernya. Bahkan pola dual-nya juga disepakati bersama. Dengan begitu dapat dihindari adanya siswa
yang tidak memperoleh tempat prakerin (PKL), dapat dihindari adanya
ketidaksesuaikan bekal yang diperoleh di sekolah untuk memulai PKL di DUDI.
Ketiga, sekolah kejuruan di Jerman tidak mengenal matapelajaran. Sebagai
gantinya siswa belajar apa yang disebut dengan Learning Area (LA), atau kompetensi
tertentu. Jadi benar-benar menerapkan
competence based secara utuh. Jenis dan
tingkatan LA disusun atas dasar kebutuhan tenaga di DUDI. Misalnya, dalam bidang keahlian otomotif
dikenal LA antara lain sistem rem, sistem kelistrikan, sistem bahan bakar,
bahkan sistem pengaturan ban/roda dan sebagainya. Setiap LA dipelajari dalam 3 minggu di
sekolah dan 6 minggu di DUDI. Dalam satu
sementer siswa belajar 2 LA saja dan itu dipelajari selama 6 minggu di sekolah
dan 12 minggu di DUDI. Jadi selama 3,5
tahun sekolah, siswa hanya belajar 12 LA plus 1 LA di semester akhir sebagai
final project.
Ke-empat, pola pembelajaran di LA itu integrated dan project based learning. Integrated, artinya ketika mendalami satu LA
tertentu, siswa juga belajar Matematika, Fisika, dan “mapel” lain, tetapi
sebatas yang diperlukan untuk mengerjakan LA itu. Disinilah pentinga apa yang disebut dengan
work process knowledge (WPK), yaitu pengetahuan tentang proses kerja untuk LA
yang berangkutan. Dengan dasar WPK itu
dapat diketahui dukungan “mapel” apa saja untuk dapat mengerjakan LA
tertentu. Misalnya untuk LA mengganti
ban mobil, siswa harus belajar beberapa bagian Matematika, Fisika dan Kimia
yang terkait. Yang menarik, dukungan “mapel”
atau “pengetahuan teori/Matametika/Fisika/Kimia dsb” itu diberikan secara
praktis oleh guru kejuruan yang mengampu LA yang bersangkutan.
Project based learning
diterapkan, karena di setiap bagian akhir LA siswa harus belajar melakukan
diagnosa terhadap problem yang terkait dengan LA yang dipelajari. Misalnya apa yang terjadi jika ban kurang
angin (kurang keras) atau sebaliknya.
Apa yang terjadi jika roda mobil tidak balans dan mengapa itu dapat
terjadi dan sebagainya. Mungkin semacam
trouble shooting yang dikenal di Indonesia. Yang agak beda, pada setiap LA ada
trouble shooting-nya. Disinilah
ditumbuhkan kemampuan berpikir kritis-analitis dan kreativitas untuk memecahkan
masalah.
Kelima, sekolah dan DUDI mendapatkan manfaat dari dual system itu. Sekolah mendapat manfaat karena tidak perlu
menyediakan workshop besar dan juga tidak perlu menyediakan guru praktek. Sebaliknya DUDI juga mendapat manfaat, karena
siswa yang PKL dianggap sebagai tenaga magang dan tidak perlu dibayar. Kok bisa begitu, berikut ini contoh yang
dilakukan di bidang keahlian Automotif di TBZ Bremen. Setiap tahun bidang keahlian itu menerima 120
siswa baru dan dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok A, B dan C. Pada 3 minggu pertama kelompok A mulai
belajar di sekolah, sementara kelompok B dan C masih melakukan orientasi. Pada 3 minggu berikutnya kelompok B mulai
belajar di sekolah dan kelompok A mulai belajar di DUDI. Pada 3 minggu ketiga, kelompok A masih di
DUDI, kelompok B mulai masuk DUDI, sedangkan kelompok C mulai belajar di
sekolah. Semua siswa tadi mempelajari
LA-1.
Mulai 3 minggu ke 4,
siklus kembali seperti pada 3 minggu pertama tetapi siswa mulai belajat
LA-2. Pada 3 minggu ke 7, siklus kembali
seperti 3 minggu ke 1 tetapi siswa belajar LA-3. Begitu seterusnya sampai akhir tahun ketiga,
siswa belajar LA-12. Nah, dengan
demikian setiap saat hanya ada 1/3 siswa yang di sekolah, sedangkan 2/3 siswa lain
sedang di DUDI. Yang di DUDI itu, 1/2nya
sudah punya pengalaman dan 1/2 baru.
Siswa kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 mengerjakan LA yang berbeda, sehingga
siswa tidak akan berjubel. Itulah yang
menyebabkan DUDI senang karena mendapatkan siswa magang tanpa perlu bayaran.
Ke-enam, di DUDI ada meister yaitu seorang “teknisi ahli” yang bertugas
membimbing siswa yang sedang PKL. Meister itu, di samping ahli dalam bidangnya juga
pernah mengikuti pelatihan sehingga memperoleh sertifikar meister, sehingga
tahu betul apa yang harus dilakukan dan juga dapat berdiskusi dengan guru yang
menjadi partnernya di sekolah. Dalam
struktur kualifikasi di Jerman, sertifikat itu disetarakan dengan S!, yaitu
level 6. Jadi meister bukanlah orang
sembarangan. Lulusan sekolah kejuruan
hanya mempunyai level 4.
Ketujuh, pada setiap akhir LA (sebelum pindah ke LA berikutnya) ada tes yang
melibatkan guru dan meister untuk memutusan apakah seorang siswa sudah
menguasai LA yang sedang dipelajari atau belum.
Dengan begitu kedua belah pihak faham dan merasa bertanggung jawab atas
keberhasilan siswa. Setiap tahun ada evaluasi bersama tentang perjalanan
pendidikan untuk memutuskan penerimaan siswa baru pada tahun berikutnya.
Apakah pola seperti
itu dapat diterapkan di Indonesia? Perlu
kajian dan persiapan yang baik. Jika tergesa-gesa sangat mungkin tidak dapat
berjalan. Di Jerman semua sekolah
kejuruan adalah sekolah negeri, sehingga pemerintah dapat mengendalikan dengan
penuh. DUDI juga wajib menjadi partner sekolah dan bahkan setiap karyawan baru
harus melewati pelatihan. Berbeda dengan
di Indonesia yang jumlah SMK nya sangat banyak, sementara jumlah DUDI yang
memenuhi syarat hanya sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar