Pak
Oenardi Lawanto adalah dosen Department
of Engineering Education Utah State University dan berasal dari Surabaya. Saya kenal P Oenardi sekitar dua tahun lalu,
dikenalkan oleh Dekan Fasilkom UI, Pak Chan Basarudin. Lewat perkenalan itulah mulai dijalin
hubungan kerjasama antara Unesa dengan Utah State University (USU). Seperti saya ceritakan yang lalu, tanggal 25
September MoU sudah ditandatangani dan skenario kerjasama sudah disusun.
Kini
saya ingin bercerita tentang Pak Oenardi.
Tentu serba sedikit karena itu baru yang saya miliki. Orang Surabaya yang menjadi dosen senior di
USU. Dan dari rapat di Departemen
Engineering Education dia termasuk yang sangat dipercaya. Cerita yang serba
sedikit ini saya harap bermanfaat bagi anak muda yang sedang mencari peta jalan
hidupnya.
Pak
Oenardi adalah keturunan Tionghoa dan asli Surabaya. Orangtuanya tinggal di Darmo Permai. Sampai SMA di Surabaya. Seingat saya, dia lulusan SMA Dapena di Jalan
Sumatra. Setelah itu melanjutkan kuliah
di Iowa State University dan mengambil jurusan Electrical Engineering. Selesai kuliah, kembali ke Surabaya dan
mengajar di Ubaya selama 15 tahun.
Ketika
menjadi dosen Ubaya itulah Pak Oenardi mengenal “pendidikan sebagai bidang ilmu”. Awalnya dia mengikuti workshop yang
dilaksanakan oleh World Bank Institute
(WBI) tentang pembelajaran di perguruan
tinggi. Pola workshopnya sangat
unik. Sebelum berangkat workshop peserta
diminta mengidentifikasi problema yang dihadapi ketika memberi kuliah. Ada format tertentu yang harus diikuti dalam
melakukan identifikasi masalah. Tahap
ini disebut Siklus 1.
Setelah
itu peserta dipanggil untuk mengikuti Siklus 2 di Bangkok. Ingat saya waktunya 1 minggu. Selama itu peserta dipandu untuk
mendiskusikan masalah yang dihadapi dan mencari solusi mengatasinya. Mungkin menerapkan authentic problem based learning. Peserta yang lebih banyak aktif dan instruktur
lebih banyak sebagai fasilitator. Teori
hanya dibahas sebagai back up ketika
membahas mengapa masalah itu terjadi dan mengapa solusi itu yang diajukan.
Di
akhir Siklus 2, peserta diminta untuk menyusun action plan untuk menerapkan pemecahan masalah yang dihasilkan
selama diskusi. Masalah yang
diidentifikasi pada Siklus 1, solusi yang diajukan dan dibahas selama Siklus 2
dan action plan yang diajukan harus
nyambung menjadi satu rangkaian dengan logika yang jelas. Action
plan itu nanti harus mendapat persetujuan oleh rektor atau pimpinan lembaga
dimana peserta bekerja.
Selesai
itu workshop masuk ke Siklus 3, yaitu pelaksanaan action plan. Begitu kembali
ke tempat bekerja langkah pertama peserta harus mendapatkan tanda tangan bukti
persetujuan pimpinan terhadap action plan tadi.
Tampaknya itu menjadi syarat peserta dapat berlanjut ke Siklus 3. Tanpa itu, peserta tidak dapat melaksanakan
action plan yang telah dibuat .
Ketika
melaksanakan action plan, peserta diminta untuk berbagai pengalaman antara satu
dengan lainnya. Juga diharapkan saling
memberi masukan terhadap permasalahan yang timbul ketika action plan dijalankan.
Instruktur selalu memantau jalannya Siklus 3 dan memberikan panduan agar
dapat berjalan baik. Dibuat mail list
sebagai wahana komunikasi antar peserta dan juga dengan instruktur. Juga web
untuk memuat perkembangan action plan yang telah dibuat. Dengan cara itu, pelaksanakan action plan dapat dipantau oleh
instruktur, didiskusikan antar peserta dan juga dengan instruktur.
Di
akhir Siklus 3, peserta diminta untuk membuat laporan dan akan dibahas nanti
pada Siklus 4. Pada Siklus 4 semua
peserta kembali berkumpul untuk mendikusikan pelaksanaan action plan dengan berbagai aspeknya. Dalam Siklus 4, peserta didorong untuk
berbagi pengalaman dan berbagai gagasan untuk menemukan cara yang terbaik.
Di
akhir Siklus 4, peserta kembali diminta membuat action plan untuk mensosialisasikan pola pembelajaran yang
dikembangkan dalam Siklus 3. Dengan
catatan, tahapan Siklus 1-4 diterapkan namun dalam wilayah universitas.
Setelah
peserta pulang, action plan
dimintakan persetujuan rektor. Dan
setelah itu dilaksanakan. Tahap ini
disebut Siklus 5 sebagai siklus terakhir.
Dalam pelaksanaan Siklus 5 pola komuniasi pada Siklus 3 tetap
dilaksanakan.
Selesai
mengikuti workshop yang mencakup 5 siklus itulah Pak Oenardi merasakan
pentingnya “ilmu pendidikan” sebagai bekal mengajar. Menurut Pak Oenardi, dosen yang tidak
memiliki bekal itu seringkali mengajar “sekenanya” dan cenderung menganggap
mahasiswa sebagai obyek. Itulah yang
mendorong Pak Oenardi mendalami bidang pendidikan dan kemudian mengambil S3
bidang Engineering Education di
Illinois University di Urbana Champaign dan sekarang menjadi salah satu dosen
senior bidang itu di USU.
Dari
cerita yang saya dapat, penelitian Pak Oenardi dan kawan-kawannya juga berkisar
pada bagaimana cara pembelajaran yang terbaik bagi mahasiswa Tehnik. Bahkan diarahkan untuk mengatasi kesulitan
belajar mahasiswa College of Engineering
tingkat awal yang umumnya banyak masalah.
Oleh karena itu disamping memberi kuliah di Departemen Engineering Education, dosen-dosen
diwajibkan mengajar kelas awal di bidang Engineering. Maksudnya biar mengetahui apa problem nyata
yang terjadi.
Dari
cerita Pak Oenardi, paling tidak ada dua pelajaran. Pertama,
dosen yang baik memerlukan bekal kemampuan mengajar yang cukup. Pak Oenardi yang lulusan S2 Iowa University
merasa tidak cukup mengajar, karena tidak memiliki bekal tentang
kependidikan. Setelah mengikuti workshop
WBI perasaan itu tambah menguat dan akhirnya memutuskan menempuh S3 dalam Engineering Education.
Kedua, pelatihan yang baik ternyata mampu membuat peserta merasakan manfaat
yang besar. Problem based learning merupakan salah satu pola yang bagus bagi
pelatihan bagi orang-orang yang menekuni pekerjaannya. Dengan pola itu peserta
merasa mampu memecahkan masalah yang dihadapi.
Saling tukar pengalaman ternyata sangat membantu peserta dalam menjalani
problem based learning.
Semoga
pengalaman Pak Oenardi memberi inspirasi bagi orang yang menekuti bidang
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan di Indonesia.
Semoga kita menjadi orang yang pandai bersyukur karena telah menempuh
bidang yang ternyata penting.