Saat
ini Dino Patti Djalal adalah duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Sebelum ini yang bersangkutan menjadi juru
bicara presiden SBY untuk urusan luar negeri. Saya baru pertama bertemu di KBRI
Washington pada Jum’at 20 September 2013.
Informasi awal, beliau sedang di Jakarta sehingga tidak dapat
bertemu. Namun ternyata sudah datang di
Washington, sehingga
kami
dapat bertemu walaupun hanya sekitar 30 menit.
Karena
kami semua tahu bahwa Pak Dino menjadi salah satu peserta Konvensi Partai
Demokrat, maka saat bertemu dia banyak digoda dan ditanya soal itu. Namun sepertinya dia enggan menjawab, karena
sedang di Washington. Beliau malah
mengatakan pendidikan dan inovasi harus menjadi fokus utama presiden 2014-2019,
siapapun orangnya. Sepertinya dia ingin
menyampaikan, itulah visinya sebagai peserta Konvensi dan berharap digunakan
oleh siapapun yang terpilih menjadi presiden tahun depan.
Walaupun
baru pertama bertemu, saya sudah dapat banyak cerita tentang dia dan baca
bukunya tentang pak SBY yang ditulis saat dia menjadi juru bicara presiden. Misalnya waktu masih sekolah di Amerika, dia
mau menjadi pencuci piring di KBRI, walaupun ayahnya sebagai Wakil Duta Besar
disitu. Juga bagaimana awalnya dia
dipilih menjadi juru bicara presiden.
Konon Pak SBY terkesan, ketika sebagai diplomat mendampingi Pak SBY saat
berkunjung ke Amerika Serikat.
Saya
lupa judul buku yang saya sebut tadi.
Dan bukunya juga sudah saya berikat teman lain, biar dibaca. Seingat saya bukunya kecil dan sampulnya
berwarna coklat. Membaca buku itu, kesan
saya Pak Dino ingin menjadi juru presiden yang baik. Informasi sekitar Pak SBY dan pemerintahannya
dijelaskan dengan alur yang runtut dan bahasa yang mudah difahami. Tampaknya dia ingin menjaga obyektivitas,
walaupun tentu memilih tema-tema yang banyak sisi positifnya. Wajar, kan memang itu tugas juru bicara. Tugasnya menyampaikan informasi yang tentu
saja dipilih yang punya dampak positif.
Apa
yang mengesakan dari Pak Dino Patti Djalal?
Pertama, muda, tampan, pandai
dengan karier cemerlang. Dengan usia 48
tahun sudah menjadi duta besar, yang konon merupakan karir puncak
diplomat. Mungkin ada yang mengatakan,
itu karena ayahnya diplomat senior yang dapat membantu dia saat memulai karir. Mungkin ada benarnya . Namun kalau dia tidak pandai tentu tidak akan
sampai puncak karir di usia semua itu.
Apalagi duta besar di Amerika Serikat yang konon “Dubes Kelas A”. Juga tidak akan dipilih Pak SBY sebagai juru
bicara urusan luar negeri, kalau tidak pandai.
Kedua, penuh optimisme. Selama 30
menit Pak Dino sepertinya ingin meyakinkan semua pihak bahwa masa depan
Indonesia cerah. Pada kartu namanya juga
dituliskan “betapa besarnya Indonesia”.
Misalnya “world largest (stable
& multiethnic) democracy, emerging economy of the 21st century,
southeast asia’s largest country and economy”. Ketika menjelaskan tentang diaspora, dia
sangat bangga dengan banyaknya orang Indonesia yang sukses di luar negeri. Katanya rata-rata pendapatan orang Indonesia
yang tinggal di Amerika lebih tinggi dibanding orang Amerika Serikat
sendiri. Sepertinya dia ingin mengatakan
bahwa orang Indonesia tidak kalah dengan orang Amerika Serikat jika mendapat
kesempatan. Dan jika mereka itu dapat
dirangkul, akan memberikan manfaat besar bagi bangsa Indonesia.
Ketiga, berorientasi ke jauh depan dengan pola sinergi. Pikiran yang disampaikan dalam waktu pendek
(sekitar 15 menit) menunjukkan kalau Pak Dino tidak mau terjebak pikiran masa
lalu dan terjebak dengan pola kotak-kotak.
Dia memberi contoh, bagaimana Vietnam yang dulu berperang sekian lama
dengan Amerika Serikat, sekarang justru aktif untuk saling bekerjasama. Dia menunjukkan walaupun dalam hal tertentu
antara China dan Amerika Serikat memiliki perbedaan, tetapi keduanya berusaha
bekerjasama. Biarlah masa lalu menjadi
bagian dari sejarah. Kita harus belajar
dari sejarah itu, untuk tidak mengulang bagian yang tidak baik dan
mengembangkan bagian yang baik.
Mencoba
mencermati Dino Patti Djalal, membuat saya teringat tokoh muda lainnya. Anies Baswedan yang penuh dengan gagasan
cemerlang, antara lain Indonesia mengajar.
Sandiaga Uno yang berhasil memanfaatkan keterpurukan akibat kehilangan
pekerjaan di era krisis dan keluar menjadi pengusaha muda sukses. Gumilar, mantan rektor UI yang penuh ambisi
untuk membangun universitasnya. Dan
masih banyak lagi, tokoh muda yang ahli di bidangnya dan penuh dedikasi untuk
memajukan bangsa Indonesia.
Saya
juga teringat menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan Indonesia. Bung Karno saat berjuang bersama
teman-temannya memerdekaan Indonesia berusia muda dibawah 50 tahun. Saya tidak tahu pasti berapa usia Bung Hatta,
Syahrir dan tokoh-tokoh lain. Namun
rasanya juga muda.
Kalau
boleh memberi catatan kecil, kadang-kadang tokoh muda terlalu “terbang
diangkasa”. Saya teringat, suatu saat
ada rombongan anak-anak muda brilian yang mengurus asosiasi nano
teknologi. Sungguh membangakan, mereka
muda belia tetapi sebagian besar doktor lulusan perguruan tinggi ternama di
negara maju. Saat itu mereka bercerita
apa yang dia kerjakan saat studi di luar negeri dan ingin lakukan ketika
kembali ke tanah air. Semuanya terkait
dengan gagasan “besar” dengan teknologi modern.
Kebetulan
salah seorang dari mereka berasal dari Pasuruan. Ketika mereka selesai menyampaikan gagasan
besarnya, saya bertanya apa yang dapat dibantukan kepada para pembuat onderdil
mobil “tembakan” di Bangil dan Waru Sidoarjo.
Mereka itu membuat berbagai komponen mobil dengan teknologi sederhana. Harganya sangat murah dan tentu mutunya juga
rendah. Apakah nano teknologi dapat
membantu mereka?
Sepertinya
mereka agak kaget. Namun kemudian muncul
gagasan yang menurut saya sangat bagus.
Pertanyaan yang saya ajukan tampaknya merangsang anak-anak muda itu
mencari cara memecahkan masalah keseharian saudara-saudaranya di kampung
halaman. Mendengar itu, dengan sangat
gembira saya katakana: “Bukankah sebaik-baik orang adalah yang memberikan
manfaat kepada sekitar.” Dan menurut
Drew Boyd dan Jacog Goldengerg (2013) untuk memecahkan masalah tidak selalu
harus out of the box. Berpikir inside
the box artinya memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita untuk memecahkan
masalah yang kita hadapi. Bukankah tugas
kehidupan adalah memecahkan masalah secara kreatif tetapi dengan penuh
kearifan.
Dahlan
Iksan mungkin dapat menjadi inspirasi bagaimana berpikir memecahkan masalah
secara kreatif. Selalu ada ide untuk
memecahkan masalah yang selama ini “buntu”. Teman-teman di Dompet Du’afa juga dapat
menjadi contoh bagaimana memecahkan masalah nasib kaum papa dengan
mendayagunakan potensi masyarakat. Pak Nuh dengan gagasan beasiswa Bidik Misi
juga dapat menjadi contoh terbosan dari arah yang lain. Pak De Karwo dengan gagasan Jamkrida juga
merupakan contoh bagaimana memecahkan masalah kesulitan pedagang kecil
mendapatkan kredit perbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar