Pemalsuan
ijasah oleh guru yang ikut PLPG menarik perhatian banyak pihak. Mendikbud akan memecat guru pemalsu ijasah
jika yang bersangkutan PNS. PGRI Jawa
Timur akan menindak jika terbukti guru tersebut benar-benar memalsu. Rektor Unitomo mengajak semua perguruan
tinggi melawan pemalsuan ijasah. Banyak
pihak mengusulkan untuk meperkarakannya ke polisi.
Pemalsuan
ijasah sebenarnya telah terjadi beberapa kali.
Bahkan pemalsuan sertifikat pelatihan dan seminar lebih sering
terjadi. Plagiat karya tulis juga sering
terjadi. Hampir setiap tahun, Unesa
menemukan sertifikat palsu dan karya tulis plagiat dalam berkas sertifikasi
guru.
Kasus
ini melengkapi kerisauan terhadap hasil UKA dan UKG yang sangat rendah. Rata-rata skor UKA guru tahun 2012 hanya
41,53. Naik sedikit pada thun 2013
tetapi tetap saja dibawah 50 yang artinya kompetensi guru dibawah 50% dari yang
seharusnya. Kalau kemudian ada yang
memalsu ijasah, sertifikat dan karya tulus, makin lengkaplah masalahnya. Memang
jumlah yang memalsu ijasah tidak banyak, tetapi tetap saja merisaukan.
Guru,
kata pepatah Jawa, digugu lan ditiru.
Digugu artinya dapat dipercaya.
Ditiru artinya dapat menjadi teladan. Guru yang memalsu ijasah tentu tidak memenuhi
dua syarat tersebut. Jadi eksistensi
sebagai guru seperti itu perlu dipertanyakan.
Apalagi jika ingat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Bagaimana perilaku siswa kalau gurunya
memalsu ijasah, memalsu sertifikat dan memalsu karya tulis.
Pertanyaannya
mengapa ada guru berperilaku seperti itu.
Jangan-jangan ada yang salah dalam pendidikan calon guru. Jangan-jangan ada yang salah dalam rekrutmen
dan pembinaan guru. Menindak tegas
mungkin membuat guru jera, tetapi jika penyiapan calon guru dan pembinaan
mereka setelah menjadi guru tidak dilakukan dengan baik, masalah tidak akan
selesai.
Negara-negara
yang memiliki pendidikan bagus, seperti Jepang dan negara-negara Skandinavia
menerapkan seleksi ketat untuk masuk ke pendidikan guru, sehingga hanya mereka
yang pandai yang diterima. Selama pendidikan
juga mendapat pembinaan sangat bagus.
Sehingga pantas kalau guru di negara tersebut sangat bagus.
Konon
di Indonesia juga ada era pendidikan guru yang bagus. Saat itu profesi guru cukup bergengsi,
sehingga banyak anak muda ingin menjadi guru.
Hanya lulusan SD dengan nilai
bagus yang dapat masuk ke SGB dan hanya SMP dengan nilai bagus yang dapat masuk
ke SGA. Seorang pensiunan dosen ITS
bercerita dulu tes masuk SGA tetapi tidak diterima dan akhirnya masuk SMA terus
ke ITS. Akhirnya menjadi dosen ITS. Dia
bangga karena tetap menjadi guru, “walaupun” di perguruan tinggi.
Waktu
itu siswa SGB dan SGA diasramakan, sehingga pembinaan perilaku dapat dilakukan secara
intensif. Prof. Wardani dari UT bercerita
selama di asrama, cara berpakaian dan makanpun juga diajarkan, sehingga lulusan
SGB dan SGA benar-benar menggambarkan sosok guru. Wajar kalau lulusan SGB dan SGA menjadi guru
yang hebat. Prof. Tilaar, Prof. Rakajoni
adalah dua contoh lulusan tersebut.
Namun
seiring berjalannya waktu, pamor profesi guru merosot. Akibatnya yang masuk ke SGA/SPG/IKIP/LPTK
bukan lulusan SMA yang terbaik. Apalagi
jumlah LPTK berkembang sangat banyak, sehingga sangat mungkin yang masuk LPTK
pada akhirnya mereka yang kurang baik potensi akademiknya.
Pendidikan
guru cenderung masal menyebabkan pembinaan sewaktu kuliah tidak efektif. Apalagi hampir tidak ada LPTK yang
mengasramakan calon guru. Kalau toh ada
asrama sifatnya umum bersama-sama mahasiswa jurusan lain. Akibatnya asrama lebih menyerupai tempat kos.
Dan produk LPTK yang seperti itulah yang sekarang menjadi guru di sekolah.
Ditambah lagi rekrutmen guru baru seringkali juga kurang baik. Jadi dapat difahami, jika kompetensinya
kurang bagus dan ada yang berperilaku tidak baik.
Dua
tahun terakhir ini minat menjadi guru meningkat tajam. Tahun 2013 ini 69,4% pendaftar SBMPTN ingin
menjadi guru. Jika ini berlanjut, kita dapat berharap
kualitas calon guru membaik. Tinggal
bagaimana proses pendidikan di LPTK juga ditingkatkan. Belajar dari pendidikan guru di masa lalu dan
juga di negara lain, asrama calon guru menjadi tuntutan penting. Dan itu sebenarnya sudah diamanatnya pada
pasal 23 ayat (1) Undang-undang Guru. Dengan
diasramakan, pembinaan calon guru dapat intensif menyentuh aspek karakter.
Pemalsuan
karya tulis terjadi karena guru perlu karya ilmiah untuk naik pangkat dan untuk
menambah poin dalam portofolio. Namun
pembinaan untuk menyusun karya tulis sangat kurang atau hampir tidak ada. Akhirnya terjadi plagiasi, apalagi konon
banyak orang yang “menawarkan” jasa
membuatkan dan ternyata hanya copy paste dari yang lain.
Pola
pembinaan profesionalisme guru yang pernah dilakukan melalui program PKG
sebenarnya cukup baik. Saat itu satu
minggu sekali, guru berkumpul di sanggar untuk membahas berbagai masalah yang
dihadapi di sekolah, mempelajari materi ajar baru, menyusun makalah dan
sebagainya. Pada saat tertentu sanggar
mendatangkan ahli yang relevan. Sayang
sekali program itu berhenti, ketika proyeknya habis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar