Setelah
lima hari mengikuti serangkaian kegiatan di Boston dan Washington, serta
mendengarkan berbagai kuliah/ceramah, mengunjungi sekolah dan kampus, saya
menyimpulkan bahwa kelemahan kita lebih pada tataran implementasi. Dalam tataran teori dan konsep rasanya kita
sudah bagus. Hampir semua yang saya dengar dan saya lihat, kita sudah faham
atau paling tidak sudah pernah mendengar teorinya. Bahkan sudah pernah menerapkan tetapi kurang
sungguh-sungguh atau tidak konsistem, sehingga tidak maksimal hasilnya. Itulah simpulan yang saya sampaikan ketika
diminta mewakili kelompok menyampaikan kesan dan rencana ke depan di kantor EDC
(Education Development Centre) tanggal
20 sore hari.
Sebelum
menyampaikan simpulan itu di forum, saya berbisik ke teman yang duduk di
sebelah tentang joke tentang “ngomong
dan berkerja”. Ada pertanyaan, orang
mana yang ngomongnya banyak dan bekerjanya juga keras. Konon itu orang Amerika, banyak ngomong
tetapi juga pekerja keras. Orang mana
yang ngomongnya sedikit tetapi kerjanya banyak.
Konon itu orang Jepang. Sedikit
bicara tetapi banyak kerja. Orang mana
yang ngomongnya banyak tetapi kerjanya sedikit.
Konon itu orang Arab. Lha kalau
orang Indonesia bagaimana? Kalau kita,
yang diomongkan dan yang dikerjakan berbeda.
Tentu itu hanya joke yang sensitif
dan tidak benar adanya. Namun maksud
saya jangan sampai kita benar-benar seperti itu. Pandai ngomong tetapi tidak pandai
melaksanakan apa yang kita omongkan. Bukankah satunya perkataan dan perbuatan
itu penting.
Mari
kita cermati beberapa inovasi yang dilakukan di Amerika Serikat dan kita
sebenarnya sudah tahu itu. Pertama, konsep student centered dan perubahan paradigma dari teaching ke learning. Kita sudah mengenal konsep ini bersamaan proyek
CBSA tahun 1970an. Pembelajaran dengan
CBSA seakan mati ketika proyeknya selesai.
Tidak hanya diseminasinya yang berhenti, sekolah yang semula menerapkan
itu seakan kembali ke pola semua guru ceramah.
Tahun
2006 kita mengembangkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan
prinsip dasar, sekolah dapat menyesuaikan materi ajar dan cara belajar-mengajar
agar sesuai dengan kondisi sekolah/siswa.
Konsep dasar yang digunakan sebagai dasar adalah perubahan paradigma
pembelajaran dari teaching ke learning. Sayangnya KTSP diterapkan dengan pola
pembelajaran ceramah.
Konsep
inilah yang sekarang diterapkan secara konsisten di 3 sekolah yang saya
kunjungi (Columbkille School, Natick High School dan Eagle View Elementary School). Siswa didorong untuk belajar dan
berpikir. Guru sebagai fasilitator dan
lebih banyak mengajukan pertanyaan yang sifatnya membangkitkan siswa untuk
berpikir dan berpendapat. Misalnya,
kepada anak kelas 2 diajukan pertanyaan “What
will you do, if other child says will you be my friend?”, “Do you agree with
this statement?”
Kedua, istilah keterampilan proses (process
skills) sudah kita kenal sejak lama.
Ingat saya sudah digunakan pada Kurikulum 1974 atau 1984. Konsep ini mengajarkan dalam pembelajaran,
proses adalah sangat penting. Hasil itu
nomor dua. Yang penting belajar
bagaimana belajar (learning how to learn). Saya yakin, sebagian besar guru kita,
apalagi yang lulus kuliah sesudah tahun 1990an pasti mengenal istilah itu
dengan baik. Namun sayang, sepanjang
yang tahu sebagian besar sekolah kita (termasuk Lab School milik LPTK) masih
saja berorientasi kepada hasil (produk).
Nah,
pola ini yang dianggap sebuah inovasi di 3 sekolah yang saya kunjungi. Misalnya saya melihat di kelas 7 Columbkille
School, anak didorong untuk membuat grafik hubungan antara lagu Justien Baber
dengan jumlah kucing yang muncul ketika lagu itu diputar. Demikian juga yang dilaksanakan di Eagle View
Elementary School dalam mengajarkan anak membaca. Siswa boleh membaca apa saja, tetapi dapat menyimpulkan
apa isi yang dibaca.
Ketiga, pergeseran dari low order
ke higher order thinking. Sejak awal tahun 200an konsep ini marak
dibicarakan dan kemudian dituangkan pada Kurikulum 2004. Oleh karena itu, ranah penerapan, analisis,
sintensis (menggunakan istilah Bloom) didorong untuk diutamakan. Namun sayangnya, sampai saat ini belum banyak
sekolah yang menerapkan. Akibatnya,
analisis Unesa terhadap hasil UN SMA 2009, 2010, 2011 soal-soal yang sifatnya
analisis selalu “jelek” hasilnya.
Demikian pula soal ujian masuk PTN untuk IPA Terpadu yang menggunakan
level analisis-sintesis sangat jarang anak yang betul jawabannya.
Ternyata
di SD kelas awal, baik di Columbkille School maupun Eagle View School, pola itu
sudah dimulai. Anak diminta membaca dan
membuat catatan “what are you confused”
dan “what your inner voice”, pada
dasarnya penerapan konsep tersebut. Anak didorong untuk berpikir sampai pada
tahap analisis untuk dapat mengajukan pendapat atau kritikan. Tentu disesuaikan dengan levelnya.
Ke-empat, pengembangan profesional guru. Indonesia sudah punya MGMP (Musyawarah Guru
Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) untuk guru TK dan SD. Konsepnya dalam MGMP dan KKG itu guru belajar
bersama, saling bertukar pengalaman untuk mengembangkan profesionalitasnya. Dan itulah yang sebenarnya diterapkan dalam
PLC (Professional Learning Community)
di sekolah-sekolah di Amerika Serikat.
Di Natick High School, setiap hari guru ikut PLC selama 45 menit. Sayangnya MGMP dan KKG kita seakan lumpuh. Kalau toh ada kegiatan, seringkali untuk
menyusun RPP secara bersama yang kemudian saling meng-copy.
The devil is in the implementation. Istilah yang
dulu sering digunakan oleh Pak Wardiman Djojonegoro (mantan Mendikbud) mungkin
cocok refleksi diri kita semua. Kita
tidak boleh hanya menyalahkan guru. Kita
harus mencari tahu mengapa guru dan sekolah kita seperti itu. Jika itu dapat ditemukan, maka perubahan
dapat dimulai dengan langkah yang lebih tepat.
Semoga.
1 komentar:
ijin share pak
untuk merefresh saya dan teman-teman
terima kasih
Posting Komentar