Jum’at
tanggal 20 September 2013 saya beserta rombongan diajak ke Eagle View Elementary School.
Pada awalnya saya agak malas.
Tempatnya agak jauh dan saya hari itu ingin ke KBRI, untuk melapor
kepada Atase Pendidikan (Dr. Hary Winarso) tentang rencana saya MoU dengan NIU (Northern Illinois University) dan USU (Utah State University) minggu
depan. Tentu sambil sholat Jum’at dan
yang tidak kalah “penting” ikut makan makanan Indonesia di KBRI.
Namun
ternyata setelah ke Eagle View School
rombongan akan ke KBRI juga. Jadi
akhirnya saya putuskan ikut, siapa tahu apa sesuatu yang menarik.
Eagle View Elementary School terletak di Fairfax County Virginia,
kira-kira 1 jam perjalanan dengan mobil dari Georgetown Suites, hotel tempat
saya menginap. Fairfax terkenal sebagai daerah
yang banyak penduduknya “non putih” dan konon banyak orang Vietnam yang tinggal
di situ. Pak Steve Anzelone, wakil
president EDC, mengatakan banyak anak Vietnam yang masuk TK dengan tidak memiliki
bahasa Inggris, tetapi ketika lulus SD menjadi juara.
Dan
betul saat tiba di sekolah itu, kami disambut dan diajak diskusi oleh para
guru. Wakil kepala sekolahnya berkulit
hitam. Satu orang guru seperti berdarah
Asia, kulitnya kuning dan rambutnya hitam.
Dua kelas yang sempat kami kunjungi, kelas 2 dan kelas 5 siswa
“warna-warni”. Di kelas 2, hanya ada 3 siswa
yang “putih”. Lainnya seperti India,
China/Vietnam dan hitam. Tentu itu hanya
dugaan saya yang tidak pandai menebak asal usul orang. Di kelas 5 kondisinya juga tidak jauh
berbeda. Artinya anak kulit putih jauh
lebih sedikit dibanding yang non putih.
Jadi penjelasan Pak Steve terbukti.
Ketika
mendengarkan penjelasan wakil kepala sekolah dan guru serta melihat kelas, saya
sungguh mendapat pelajaran berharga.
Jadi tidak rugi saya ikut ke Eagle
View Elementary School, walaupun harus naik bis selama sekitar 1 jam. Mereka menjelaskan bahwa yang ingin dicapai
sekolah itu adalah mengembangkan kompetensi anak sebagai critical thinker, creative thinker, problem solver dan behave properly. Dan itu dikaitkan the real world agar menjadi life
skills. Tugas guru bukan menyuapi
anak dengan pengetahuan tetapi sebagai master
of facilitator.
Penjelasan
tersebut tidak aneh, walaupun relatif baru.
Buku-buku semacam The Global
Achievement Gap oleh Tony Wager, The
21st Century Skills oleh Bernie Trilling dan How Asia Can Shape the World oleh Jorgen
Moller sudah menjelaskan itu panjang lebar.
Namun yang ingin saya tahu bagaimana itu dapat diterapkan di TK dan
SD. Oleh karena itu ketika penjelasan
guru begitu panjang, saya menyela: “Excuse
me, do we have opportunity to visit class?”.
Dan dijawab: “Sure, but we
have to wait until the class start in the next ten minutes”. Ternyata memang sudah dirancang kami akan
diajak melihat beberapa kelas.
Sambil
menunggu waktu, saya pura-pura ke kamar kecil tetapi sebenarnya ingin melihat
macam-macam yang dipajang di dinding lorong sekolah. Seperti biasanya sekolah di negara maju (dan
juga beberapa TK dan SD di Indonesia) dinding dipajangi karya siswa. Ada 3 pajangan yang menarik. Pertama,
tayangan yang sepertinya untuk pendidikan karakter. Ditulis di kertas buffalo kuning dengan
judul “SOS Walkways” dengan gambar tiga burung yang sedang berjalan beriringan. Tulisan dibawahnya berbunyi: SELF:
walk safely, takes shortest route. OTHERS:
watch, walk and whisper. SORROUNDINGS:
stay to the right, keep it clean, stop at stop signs. Ada lagi yang berbunyi: SELF: do you best, be on task, be honest, be responsible, make healthy
choices. OTHERS: care for and help others, be a peace and keeper, respond to
quiet signal, be courteous. SURROUNDINGS: keep it clean, respect the earth,
care for your share. Cara yang bagus
untuk secara terus menerus mengingatkan anak-anak bagaimana sebaiknya perilaku
kita.
Kedua, sedertan pajangan yang ditulis siswa.
Ditengahnya ada tulisan di kertas biru berbunyi: OUR HOPES and DREAMS. Di
sekitarnya ada tempelan kertas folio dengan tulisan print out komputer: I hope ………………………….. Titik-titik itu sepertinya diisi oleh siswa
dengan tulisan tangan dan diberi gambar.
Isinya macam-macam. Sepertinya
siswa didorong mengisi apa saja, sesuai dengan harapannya.
Ketiga, peta dunia yang diberi judul: WHERE
IN THE WORLD ARE YOU. Kemudian ada foto siswa diberi nama dan diberi benang
yang dihubungkan dengan lokasi tertentu di peta dunia. Ada yang dikaitkan dengan Amerika Serikat,
negara di Eropa, negara di Asia dan sebagainya.
Sepertinya siswa didorong untuk menyadari dari mana asalnya.
Contoh
yang menarik, bagaimana pendidikan karakter dapat dimulai sejak dini. Anak didorong untuk punya cita-cita (hopes and dreams) dan berani
mengutarakan. Kata mereka setiap awal tahun siswa diminta untuk menulis harapan
itu untuk 1 tahun ke depan. Siswa
didorong menyadari asal-usulnya tanpa rasa malu atau rendah diri. Siswa
didorong untuk memegang perilaku yang seharusnya dilakukan, untuk diri sendiri,
untuk teman dan untuk lingkungan.
Rasanya saya mendapat pelajaran yang sangat berharga. Dan itu lebih mendorong saya untuk melihat
proses pembelajaran di kelas.
Ketika
mengunjungi kelas 5 siswa sedang membaca dan di mejanya ada selembar kertas
yang dibagi menjadi dua kolom. Di bagia atas kolom kiri ada tulisan WHAT ARE YOU CONFUSED dan untuk kolom kanan tertulis kalimat WHAT IS YOUR INNER VOICE. Saya amati apa yang dilakukan siswa. Ternyata setelah membaca mengisi kolom
tersebut. Apa yang dia masing bingung
atau belum faham ditulis di kolom kiri dan apa yang komentar/kritik/dukungan
ditulis pada kolom kanan.
Setelah
selesai atau mungkin waktunya habis, siswa berkumpul duduk di karpet dan
gurunya duduk di kursi di depan. Ada dua
orang guru lain, yang ternyata merupakan guru “khusus” yang bertugas membantu
anak berkebutuhan khusus. Misalnya slow
learner dan yang belum pandai membaca.
Apa
yang dikerjakan? Ternyata guru
menayangkan lembar demi lembar dari bacaan di smart board. Dan siswa diminta mengajukan apa yang belum
difahami (what are you confused?) dan apa komentar/kritik (what is your inner voice). Hampir semua anak mengangkat tangan setiap
guru menanyakan. Dan guru menanggapinya
dengan bagus. Jadi apa yang ditulis di
kertas folio tadi diajukan secara lesan waktu itu. Sunggguh contoh bagus, bagaimana
mengembangkan critical thinking.
Ketika
saya masuk di kelas 2, siswa sedang duduk di karpet dan guru memandu
pelajaran. Siswa ditanya bagaimana
mendapatkan teman (how to get friends). Dan bagaimana kalau ada orang lain yang
mengajak berteman. Anak kelas 2 tentu
masih berusia sekitar 7-8 tahun.
Jawabannya macam-macam. Namun tampak
sekali guru mendorong anak-anak untuk mencari cara mendapatkan teman yang
cocok. Mungkin itu bagian dari creative
thinking. Juga bagaimana kalau ada
orang yang belum dikenal tetapi mengajar berteman. Bagaimana kalau anak sebenarnya tidak
senang. Sepertinya kemampuan problem
solving yang sedang dipupuk.
Di
dinding kelas 2 juga ada pajangan yang tampak seperti buatan siswa. Dalam kertas folio itu tertulis kalimat I AGREE BECAUSE………… I DISAGREE BECAUSE………… Saya tidak tahu bagaimana pelaksanaan
pengsian titik-titik itu. Namun dari
tulisan yang ada saya menduga siswa diberi suatu contoh pendapat atau ungkapan
dan diminta mengajukan pendapat setuju atau tidak setuju dan harus diberi
penjelasan mengapa setuju atau tidak setuju.
Saya
tidak sempat menanyakan apa kemampuan yang ingin dikembangkan dengan isian
tersebut. Namun saya meyakini itu untuk
mengembangkan kemampaun berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Untuk mengerjakan isian tersebut, menutut
Bloom anak harus berpikir sampai tahap evaluasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar