Ketika
tiba di Boston setelah menempuh perjalanan selama 36 jam, saya bertemu dengan
Ibu Mimy Santika, Education Specialist
USAID Jakarta. Bu Mimy memberitahu bahwa
USAID meminta saya presentasi ketika berkunjung ke kantor pusatnya di
Washington tanggal 19 September 2013.
Topik yang diminta Roles of Higher
Education Institutions in Indonesia.
Saya kaget dan bertanya mengapa
USAID meminta itu. Bu Mimy menjelaskan
USAID sudah tahu pengalaman yang saya miliki, sehingga meminta hal itu. Setengah merengek Bu Mimy meminta saya
bersedia.
Setelah
menimbang sejenak, akhirnya saya menerima permintaan tersebut. Waktunya sangat pendek, sehingga saya harus
mempersiapkan bahan ditengah-tengah acara yang sudah tersusun rapi selama di
Boston. Topik yang diminta sangat luas,
maka dalam waktu singkat saya harus menentukan topik yang lebih spesifik,
mencari bahan serta data pendukungnya.
Setelah satu malam memikirkan dan mencari data yang telah ada di lap
top, saya menentukan topik “Preparing
Future Teacher”.
Topik
tersebut saya pilih dengan alasan: 1) berpengaruh langsung kepada Pendidikan
Dasar yang selama ini banyak ditangani oleh USAID, 2) bidang yang langsung
terkait dengan LPTK yang beberapa rektornya diundang ke kantor pusat USAID di
Washington, dan 3) sebagian besar datanya sudah ada di laptop saya dan yang
belum ada mudah dicari via internet.
Alasan lain yang lebih pribadi, saya merasa Indonesia perlu
mengembangkan model PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang dapat menjamin mutu guru
dan dapat dilaksanakan secara efisien.
Selama
menyiapkan bahan berupa power point,
saya berpikir bagaimana meyakinkan USAID untuk membantu Indonesia dalam
mengembangkan PPG yang baik. Sepanjang
yang saya tahu, PPG merupakan “barang baru” bagi Indonesia. Di Inggris ada PGCE (Post Graduate Certificate on Education), di Australia ada DipEd (Diploma on Education), di Amerika
Serikat ada beberapa ada beberapamodel, misalnya Credential dan MAT (Master at Teaching). Namun di negara maju tampaknya penyiapan
guru mengarah kepada jenjang S2. Kita
perlu mempelajari berbagai model tersebut sebagai bahan banding untuk menyusun
PPG yang paling cocok bagi Indonesia.
Kamis
pagi-pagi saya menyiapkan segalanya.
Agak grogi juga. Memang saya sudah
sering presentasi di luar negeri. Namun
biasanya di forum seminar atau di universitas.
Ini di kantor pemerintah Amerika Serikat, bagian dari Departemen Luar
Negeri-nya. Oleh karena itu saya
upayakan sebaik mungkin, termasuk pakaian.
Selama 3 hari di Boston saya berpakaian tidak formal, pakai baju tanpa
dasi dan ditutup sweater (ikut-ikut
gaya orang bule). Kamis pagi sengaja
saya pakai full dress, dengan kemeja
putih berdasi merah dan jas coklat. Saya
pikir ini acara resmi dan di kantor pemerintah Amerika Serikat.
Pukul
10an kami sampai di kantor USAID. Dan
betul dugaan saya. Kantornya megah
dengan penjagaan berlapir. Kami harus
melewati 2 kali X ray dan satu kali menunjukkan kartu identitas. Saking groginya, saya lupa membawa
paspor. Untung sdh punya foto halaman
depannya di HP. Jadi yang saya tunjukkan
ke petugas KPT + foto paspor di HP. Saya
agak takut, karena nama sana di KTP dan paspor berbeda. Biasa, nama di paspor harus 3 kata, sehingga ditambah
dengan nama ayah. Alhamdulillah, lancar. Sepertinya di komputer petugas sudah ada nama
saya sebagai orang yang diundang presentasi pukul 11.
Dalam
ruangan ada sekitar 30 orang dan sebagian besar berpakaian full dress. Dalam hati saya
bersyukur memakai jas. Pertemuan diawali
dengan penjelasan singkat tentang program-program USAID. Mereka menyampaikan secara bergilir sesuai
bidang tugasnya masing-masing. Dan betul ternyata ada pejabat yang menyebut
nama saya, ketika menjelaskan program beasiswa.
Pejabat tersebut namanya Matthew (saya lupa nama lengkapnya) menyebut “Dr. Samani who created Dikti-Fullbright
Scholarship program…..” . Ketika
saya mengangkat tangan, Matthew berkomentar: “I am very happy to meet you sir”. Jadi mereka tahu saya,
karena merancang program itu bersama Mike McCoy dari Aminef.
Di
ruangan tidak ada komputer. Yang ada
hanya key board di atas meja. Juga tidak ada LCD, tetapi semua presenter
sebelum saya menayangkan power point di smart
board. Bu Mimy meminta file saya,
katanya untuk diemail ke server tertentu.
Oh, ternyata USAID tidak mau menerima flash disk tetapi file diemail ke severnya. Saat saya akan mulai presentasi, Matthew yang
tadi memperkenalkan saya, mencari file presentasi saya dari email yang masuk. Dan dia membantu saya mengoperasikan power
point saya presentasi. Dalam hati saya
berkata, sejak kapan bule pejabat pemerintah Amerika mau menjadi operator
presentasi saya. GR juga rasanya.
Akhirnya
saya benar-benar presentasi di depan bule-bule USAID dan orang Indonesia yang
ikut rombongan. Alhamdulillah lancar,
walaupun di awal saya agak grogi.
Sebagai pengantar dan ice breaker,
saya katakan kira-kira “Two years ago I
was invited by DBE-2 to give a short speech. On that occasion I said that’s
good USAID help teachers to improve their teaching learning process at
schools. But if we don’t put attention
to universities which produce teachers, then every year we will get thousands
new teachers who need to be trained.…….” Maksud saya agar USAID juga
membantu LPTK dan tidak hanya sekolah-sekolah saja. Dan kalimat setengah kelakar itu membuat saya
menjadi lebih percaya diri ngomong di depan bule-bule pejabat USAID di Washington.
Selama
presentasi, saya mencoba meyakinkan pentingnya Indonesia memiliki model PPG
(dalam bahasa Inggris saya sebut Professional
Teacher Training). Saya juga menjelaskan bahwa 3 tahu lalu, telah ada
diskusi panjang tentang itu bersama teman-teman dari Bank Dunia, yang diwakili
oleh Mai Chu Chang, Richard dan Susi Iskandar.
Saat itu disepakati membuat program yang diberi nama RESPOND
(Revitalisasi Sistem Pendidikan Guru di Indonesia, versi bahasa Inggrinya Revitalizing Indonesia Teacher Education). Jika USAID tertarik, saya siap melacak
kembali dokumen program tersebut.
1 komentar:
menginspirasi...semoga sehat selalu, was.
Posting Komentar