Selama
4 hari di Jepang serta berinteraksi dengan kolega di Aichi University of
Education dan di Hokuriku Uniersity, termasuk dengan sopir dan kru bis yang
mengantar kami dalam perjalanan Nagoya-Kanazawa-Nagano-Nagoya, saya mendapat
kesan kuat bahwa semua kegiatan dirancang secara detail. Semua serba well planed. Semua rencana dibuat dengan detail dan konon
sudah disiapkan sejak sebulan lalu.
Mengamati
fenomena itu saya jadi teringat ungkapan “if fou fail to plan-you plan to
fail”. Ungkapan itu sering menjadi
jargon pada matakuliah atau buku-buku tentang perencanaan. Seingat saya ada buku Eductaional Planning
terbitan IEIP (International Institute of Educational Planning, saya lupa pengarangnya)
yang membahas ungkapan tersebut. Kurang
lebih isinya adalah nasehat bahwa setiap kegiatan harus dirancang dengan
baik. Jika kita gagal membuat
perencanaan yang baik, iu sama artinya kita sedang merencanakan kegagalan. Rasanya prinsip itu benar-benar dilaksanakan
di Jepang. Paling tidak oleh orang-orang
yang saya jumpai selama 4 hari saya di Nagogya dan Kanazawa.
Sebelum
berangkat, saya disodri draft acara selama 2 hari di Nagoya, hari pertama di
Aichi University of Education, termasuk memberi kuliah umum (memorial lecture)
dan mengunjungi SD Lab School dekat kampus.
Hari kedua, kami mengunjungi SMP Lab School di Nagoya, mengunjungi
pabrik fork lift dan mengunjungi SD Swasta Tsakuba. Draft rancangan kegiatan itu sangat detail,
misalnya saya memberi sambutan selama 3 menit, president AUE selama 3 menit dan
seterusnya.
Waktu
tampaknya sangat mendapat perhatian bagi orang Jepang, sehingga diatur sangat
efisien. Misalnya saat di Hokuriku
University, saat rombongan kami diajak melihat kampus dari lantai atas kantor
pusat (kebetulan kantor pusat Hokurimu University berada di punca bukit,
sehingga dari situ orang dapat melihat pemandangan kampus maupun kota
Kanazawa), hidangan makan siang dimasukkan ke ruangan. Jadi sewaktu kami kembali ke ruangan, makan
siang sudah siap. Pada hal, waktu
melihat-lihat kampus dan kota tersebut hanya 10 menit.
Ketika
kami masuk ruang rapat, bahan rapat sudah ada di meja. Tempat duduk diatur dengan rapi dengan ada
papan nama untuk setiap peserta. Dengan
begitu rapat dapat dimulai dengan segera sesuai jadwal. Lama rapat atau acara juga sudah diatur
dengan ketat. Waktu saya memberi kuliah
hanya 90 menit dan begitu waktu habis panitian menjelaskan kalau waktu sudah
habis, sehingga tanya jawab dihentikan.
Demikian pula waktu kunjungan ke pabrik fork lift, rombongan masih
mengajukan pertanyaan, tetapi panitia mengatakan waktu sudah habis.
Tampaknya,
perancangan waktu yang begitu rapi juga punya dampak acara menjadi sangat kaku
dan tidak mudah diubah, walupun ada masalah.
Misalnya, waktu di Fujiyama ada kelambatan berangkat bus karena
rombongan ada yang lambat kembali ke bus. Demikian oula jalannya bus menjadi
lebih lambat karena kabut turun. Namun
tetap saja sopir tidak mau mengubah scenario perjalanan, termasuk tidak mau
menambah kecepatan bus, sehingga kami terlambat sampai di Nagoya.
Waktu
makan malam dan dihadiri oleh mantan president AUE (Prof. Matsuda), waktu maka
malam juga dibatasi seperti rencana.
Pada hal, kami ingin agak lama karena sudah lama tidak bertemu dan
besuknya sudah kembali ke Surabaya.
Begitu jam makan selesai, panitian mengingatkan agar segera
selesai. Pada hal es krim dan kopi
sebagai penutup acara makan malam belum habis dimakan.
Yang
lebih menarik adalah sopir bus yang selalu mencatat. Saya tidak faham apa yang dituliskan, tetapi
lembar kertas yang ditulis seperti berupa jurnal perjalanan. Sudah ada petak-petak yang saya duga tertulis
tempat singgah dan sebagainya. Begitu
sampai di tempat singgah, dan bus berhenti sopir yang tidak bertugas (sopir
busnya dua orang), segera mengambil kertas tersebut dan mengisi di kolom
tertentu.
Saya
jadi teringat pengalaman awal tahun 2000an ketika dikontrak JICA untuk
melakukan tracer study terhadap lulusan politeknik. Salah satu hasilnya, lulusan politeknik di
Indonesia tidak punya kebiasaan merekam (mencata) pekerjaan yang
dilakukan. Sepertinya mencatat pekerjaan
yang dilakukan sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan orang Jepang, termasuk
sopir bus. Pada saat itu orang JICA
mengatakan, record pekerjaan penting untuk bahan belajar. Jangan sampai kita membuat kesalahan kedua
kali. Juga penting untuk mengetahui
masalah di masa lalu, khususnya jika terjadi pergantian pegawai.
Apakah
jadwal yang begitu ketat dan dilaksanakan dengan ketat pula, cocok untuk
kita? Saya jadi teringat Prof. Imam
Suprayoga, mantan Rektor UIN Malang, yang mengajarkan sebagai pimpinan di
Indonesia “jangan biasa pakai kereta apl, tetapi pakai mobil”. Jika naik kereta kita harus mengikuti rel
yang ada. Sekali naik ya harus ikut itu
sampai di tujuan. Kalau naik mobil, jika
ada kemacetan, kita dapat mencari jalan alternatif. Maksudnya, di Indonesia seringkali banyak
variabel yang tidak terduga. Akibatnya
rencana yang sudah dibuat harus diubah/disesuaikan dengan situasi yang terbaru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar