Sabtu, 21 Juni 2014

BE CAREFUL WITH C



Sudah beberapa kali saya mencermati wisuda di Unesa untuk melihat berapa orang yang mendapat predikat cum laude.  Pada wisuda ke-80 tanggal 21 Juni 2014, saya juga mencermati dan mendapatkan data bahwa yang mendapat predikat cum laude 249 orang dari ….. orang.  Jadi sekitar 20 %. Lumayan banyak, karena biasanya lebih sedikit dari itu.

Saya tidak tahu apakah jumlah 20 % itu wajar, terlalu sedikit atau terlalu banyak.  Cum laude tentu hanya untuk mereka yang berpestasi luar biasa.  Seingat saya di Unesa, untuk program S1 lulusan akan mendapat predikat cum laude jika punya IPK minimal 3,51 dengan waktu kuliah tidak lebih dari 8 semester.  Jadi seharusnya memang sedikit.  Dengan IPK minimal 3,51 berarti minimal 50 % matakuliah mendapat nilai A dan yang lain minimal B.  Jika distribusi nilai merupakan kurva normal, maka jumlah 20 % mendapat predikat cum laude rasanya sudah banya.

Sebenarnya yang justru saya ingin tahu adalah apakah mereka yang mendapat predikat cum laude akan sukses ketika mengarungi samudra kehidupan, berkerja dan bermasyarakat.  Sampai saat ini saya belum mendapatkan data.  Namun ketika bertemu atau mengisi pelatihan atau seminar, saya sering bertanya kepada peserta “apakah teman Anda sewaktu SD atau SMP atau SMA/SMK atau saat kuliah yang mendapatkan nilai terbaik/juara kelas, sekarang menjadi orang yang paling suskes?”.  Seringkali saya mendapat jawaban belum pasti. 

Lantas siapa teman sekolah Anda yang sekarang paling suskes?  Bagaimana prestasi mereka ketika sekolah/kuliah?  Terhadap pertanyaan itu, saya mendapatkan jawaban yang seringkali mengejutkan.  Peserta sering menjawab, “prestasi mereka biasa-biasa saja, tetapi orangnya berani dan pandai bergaul”.  Bagaimana pengalaman pembaca?  Apakah sama dengan peserta pelatihan/seminar yang menjawab pertanyaan saya tadi?

Suatu saat saya bepergian dengan Didik Suhardi, PhD yang sekarang menjabat Direktur Pembinaan SMP Kemdikbud.  Ketika ngobrol tentang pengalaman sekolah, Pak Didik melontarkan istilah “be careful with C”.  Maksudnya banyak orang-orang yang ketika sekolah mendapatkan nilai C, tetapi justru sukses ketika sudah bekerja dan bermasyarakat.  Bahkan katanya, seringkali yang dulu mendapatkan nilai A justru menjadi anak buah yang dulu mendapat nilai C.

Seingat saya di Barat juga sering muncul kelakar, kalau Anda selalu mendapat nilai straight A (sekali ujian langsung dapat A) dan Anda kutu buku, maka besuk Anda akan menjadi profesor.  Jika Anda selalu dapat nilai B dan Anda aktif di berbagai kegiatan, besuk Anda akan jadi presiden.  Tentu ungkapan Pak Didik dan kelakar di Barat tersebut terlalu menyederhanakan fenomena.  Banyak juga orang sukses yang memang dulu lulus dengan predikat cum laude.  Pak Habibie, misalnya.  Pak SBY juga lulusan terbaik waktu di AKABRI.  Namun juga banyak yang dulu biasa-biasa saja saat kuliah.  Konon Pak Ciputra juga biasa-biasa saja saat kuliah.  Bu Risma, Walikota Surabaya, bahkan sering mengatakan waktu SMA maupun kuliah prestasinya biasa-biasa saja.

Lantas apa yang perlu dirisaukan?  Bukankah keduanya tidak mutlak?  Yang lulus cum laude kemudian sukses dalam bekerja juga banyak.  Yang setelah bekerja prestasinya biasa-biasa saja juga banyak.  Demikian pula, yang waktu kuliah biasa-biasa tertapi saat bekerja ternyata sukses juga banyak.  Yang dulu saat sekolah/kuliah biasa-biasa saja dan ketika bekerja juga biasa-biasa saja tentu lebih banyak.

Jika yang lulus cum laude banyak yang tidak sukses ketika sudah bekerja dan bermasyarakat, berarti IPK atau nilai sewaktu sekolah bukankah predictor untuk kesuksesan seseorang. Jika nilai atau IPK merupakan indikator dari serapan materi kuliah, berarti serapan materi kuliah (sekolah) bukan predictor kesuksesan setelah seserorang lulus dan bekerja.  Jika simpulan itu benar, kita dapat melangkah ke simpulan berikutnya yaitu materi pelajaran di sekolah/kuliah tidak menjadi bekal untuk sukses di masa depan.  Nah disini mulai memunculkan pertanyaan besar bagi dunia pendidikan.

Jika materi kuliah bukan merupakan bekal pokok untuk sukses lantas apa makna pendidikan?  Bukankah pendidikan secara sederhana dimaknai sebagai upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan diri agar mampu menghadapi permasalahan di masa mendatang.  Artinya membantu mengembangkan potensi anak didik agar dapat sukses di masa datang.  Nah, jika ternyata itu tidak terjadi, seharusnya menjadi pemikiran serius bagi mereka yang menyatakan diri sebagai ahli pendidikan, praktisi pendidikan dan pengamat pendidikan.

Jika mereka yang sukses bukankah mereka yang memperoleh predikat cum laude saat kuliah dan atau yang mendapat juara kelas saat sekolah, apa bekal yang mereka miliki sehingga dapat suskes dan dari mana bekal tersebut diperoleh.  JIka dua pertanyaan itu dapat dijawab, maka langkah penyempurnaan pola pendidikan dapat mulai dipikirkan.  Semoga.

2 komentar:

ulilmultazam mengatakan...

Assalamualaikum Prof,
yang nilai A terus tidak sukses karena "malu" berbuat karena sudah merasa cukup dengan buku.
yang nilai A dan sukses karena terus mau berbuat dan berprestasi baik di kuliah maupun di masyarakat. pun sebaliknya untuk yang tidak A terus di kampus.
karenanya pendidikan dengan model kecerdasan majemuk adalah solusi untuk mejadikan mahasiswa sukses di kampus dan di tengah masyarakat.

Hanif Ibrahim mengatakan...

Barakallah