Sudah
beberapa kali saya mencermati wisuda di Unesa untuk melihat berapa orang yang
mendapat predikat cum laude. Pada wisuda
ke-80 tanggal 21 Juni 2014, saya juga mencermati dan mendapatkan data bahwa
yang mendapat predikat cum laude 249 orang dari ….. orang. Jadi sekitar 20 %. Lumayan banyak, karena
biasanya lebih sedikit dari itu.
Saya
tidak tahu apakah jumlah 20 % itu wajar, terlalu sedikit atau terlalu
banyak. Cum laude tentu hanya untuk
mereka yang berpestasi luar biasa.
Seingat saya di Unesa, untuk program S1 lulusan akan mendapat predikat
cum laude jika punya IPK minimal 3,51 dengan waktu kuliah tidak lebih dari 8
semester. Jadi seharusnya memang
sedikit. Dengan IPK minimal 3,51 berarti
minimal 50 % matakuliah mendapat nilai A dan yang lain minimal B. Jika distribusi nilai merupakan kurva normal,
maka jumlah 20 % mendapat predikat cum laude rasanya sudah banya.
Sebenarnya
yang justru saya ingin tahu adalah apakah mereka yang mendapat predikat cum
laude akan sukses ketika mengarungi samudra kehidupan, berkerja dan
bermasyarakat. Sampai saat ini saya
belum mendapatkan data. Namun ketika
bertemu atau mengisi pelatihan atau seminar, saya sering bertanya kepada
peserta “apakah teman Anda sewaktu SD atau SMP atau SMA/SMK atau saat kuliah
yang mendapatkan nilai terbaik/juara kelas, sekarang menjadi orang yang paling
suskes?”. Seringkali saya mendapat
jawaban belum pasti.
Lantas
siapa teman sekolah Anda yang sekarang paling suskes? Bagaimana prestasi mereka ketika sekolah/kuliah? Terhadap pertanyaan itu, saya mendapatkan
jawaban yang seringkali mengejutkan.
Peserta sering menjawab, “prestasi mereka biasa-biasa saja, tetapi
orangnya berani dan pandai bergaul”.
Bagaimana pengalaman pembaca?
Apakah sama dengan peserta pelatihan/seminar yang menjawab pertanyaan
saya tadi?
Suatu
saat saya bepergian dengan Didik Suhardi, PhD yang sekarang menjabat Direktur
Pembinaan SMP Kemdikbud. Ketika ngobrol
tentang pengalaman sekolah, Pak Didik melontarkan istilah “be careful with
C”. Maksudnya banyak orang-orang yang
ketika sekolah mendapatkan nilai C, tetapi justru sukses ketika sudah bekerja
dan bermasyarakat. Bahkan katanya,
seringkali yang dulu mendapatkan nilai A justru menjadi anak buah yang dulu
mendapat nilai C.
Seingat
saya di Barat juga sering muncul kelakar, kalau Anda selalu mendapat nilai
straight A (sekali ujian langsung dapat A) dan Anda kutu buku, maka besuk Anda
akan menjadi profesor. Jika Anda selalu
dapat nilai B dan Anda aktif di berbagai kegiatan, besuk Anda akan jadi
presiden. Tentu ungkapan Pak Didik dan
kelakar di Barat tersebut terlalu menyederhanakan fenomena. Banyak juga orang sukses yang memang dulu
lulus dengan predikat cum laude. Pak
Habibie, misalnya. Pak SBY juga lulusan
terbaik waktu di AKABRI. Namun juga
banyak yang dulu biasa-biasa saja saat kuliah.
Konon Pak Ciputra juga biasa-biasa saja saat kuliah. Bu Risma, Walikota Surabaya, bahkan sering
mengatakan waktu SMA maupun kuliah prestasinya biasa-biasa saja.
Lantas
apa yang perlu dirisaukan? Bukankah
keduanya tidak mutlak? Yang lulus cum
laude kemudian sukses dalam bekerja juga banyak. Yang setelah bekerja prestasinya biasa-biasa
saja juga banyak. Demikian pula, yang
waktu kuliah biasa-biasa tertapi saat bekerja ternyata sukses juga banyak. Yang dulu saat sekolah/kuliah biasa-biasa
saja dan ketika bekerja juga biasa-biasa saja tentu lebih banyak.
Jika
yang lulus cum laude banyak yang tidak sukses ketika sudah bekerja dan
bermasyarakat, berarti IPK atau nilai sewaktu sekolah bukankah predictor untuk
kesuksesan seseorang. Jika nilai atau IPK merupakan indikator dari serapan
materi kuliah, berarti serapan materi kuliah (sekolah) bukan predictor
kesuksesan setelah seserorang lulus dan bekerja. Jika simpulan itu benar, kita dapat melangkah
ke simpulan berikutnya yaitu materi pelajaran di sekolah/kuliah tidak menjadi
bekal untuk sukses di masa depan. Nah
disini mulai memunculkan pertanyaan besar bagi dunia pendidikan.
Jika
materi kuliah bukan merupakan bekal pokok untuk sukses lantas apa makna
pendidikan? Bukankah pendidikan secara
sederhana dimaknai sebagai upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan
diri agar mampu menghadapi permasalahan di masa mendatang. Artinya membantu mengembangkan potensi anak
didik agar dapat sukses di masa datang.
Nah, jika ternyata itu tidak terjadi, seharusnya menjadi pemikiran
serius bagi mereka yang menyatakan diri sebagai ahli pendidikan, praktisi
pendidikan dan pengamat pendidikan.
2 komentar:
Assalamualaikum Prof,
yang nilai A terus tidak sukses karena "malu" berbuat karena sudah merasa cukup dengan buku.
yang nilai A dan sukses karena terus mau berbuat dan berprestasi baik di kuliah maupun di masyarakat. pun sebaliknya untuk yang tidak A terus di kampus.
karenanya pendidikan dengan model kecerdasan majemuk adalah solusi untuk mejadikan mahasiswa sukses di kampus dan di tengah masyarakat.
Barakallah
Posting Komentar