Senin 9 Juni 2014
pukul 13.00 saya mengisi acara di STKIP Al Hikmah. Sebagaimana diketahui Lembaga Al Hikmah yang selama ini mengelola
TK, SD, SMP dan SMA Al Hikmah, mendirikan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan
Ilmu Pendidikan). Tahun akademik
2014/2015 mulai menerima mahasiswa baru untuk 2 program studi, yaitu Pendidikan
Matematika dan Pendidikan Bahasa Inggris.
Ciri khusus STKIP Al
Hikmah adalah seluruh mahasiswanya diasrama dan mendapatkan beasiswa
penuh. Artinya mahasiswa tidak membayar
sama sekali, sampai lulus termasuk biaya tinggal dan makan di asrama. Jumlah mahasiswa per prodi dibatasi maksimal
25 orang dan menerapkan pola passing
grade pada saat seleksi masuk.
Artinya calon mahasiswa diterima jika memiliki hskor asil tes
(serangkaian tes) minimal tertentu.
Konon angkatan pertama (2014/2015) alokasi jumlah mahasiswa 25 tidak
tercapai karena dari sekian banyak pelamar, yang memenuhi passing grade tidak sampai 25 orang.
Tampaknya STKIP Al
Hikmah benar-benar ingin memulai sesuatu yang baru. Dosennya baru-baru dan rata-rata sangat
muda. Beberapa “tokoh” pendidikan Al
Hikmah yang ditunjuk menjadi pimpinan STKIP ditemani oleh 11 orang dosen baru
yang muda-muda serta tampak sangat cerdas dan
bersengat. Saya ditugasi untuk
membekali para dosen mudah tersebut.
Dugaan saya, pembekalan berupa serangkaian pertemuan/diskusi/workshop
dengan mengundang beberapa orang yang diangap punya pengalaman mengembangkan
perguruan tinggi keguruan/pendidikan pada umumnya.
Saya faham kalau Al
Hikmah memiliki sumberdana besar dan saya yakin STKIP akan dilengkapi dengan
berbagai fasilitas yan bagus, termasuk sarana perkuliahan. Ketika masuk ke ruang workshop telah
disediakan laptop yang siap digunakan, papan flip chart dan sebagainya. Peserta juga sudah siap di ruangan dengan
perlengkapan masing-masing. Namun, hari
itu sengaja saya akan membekali dosen muda itu dengan teknologi minimal. Saya membawa laptop berisi catatan materi
yang akan saya sampaikan, tetapi saya memakai papa tulis (white board) saja.
Materi pokok yang
ingin saya sampaikan adalah “bagaimana calon mahasiswa STKIP Al Hikmah sadar
bahwa mereka belajar menjadi guru dan faham seperti apa ciri/karateristk guru
yang ingin dihasilkan oleh Al Hikmah”.
Ibarat mereka mulai pengembaraan atau perjalanan, mereka faham tujuan
akhir yang ingin dicapai. Dengan
mengetahui karateristik guru yang diimpikan, kita berharap selama perkuliahan
mereka akan berusaha mencapai karateristik itu.
Untuk mendapatkan
karateristik guru ideal, saya tidak mengacu kepada teori, tetapi setiap dosen
yang muda peserta workshop saya minta menyebutkan ciri-ciri tersebut. Jadi saya mendapatkan sederet cri-ciri guru
yang ideal. Ciri-ciri yang mereka
sebutkan, kemudian kami cermati dan dipilah mana yang terkait dengan bidang
studi dan mana yang berlaku untuk semua situasi. Yang berlaku untuk segala seuatu itu disebut
general skills, artinya kemampuan atau sikap yang diperlukan siapapun dan
apapun profesinya. Yang terkait dengan
bidang keahlian (mapel yang diampu guru) dan kemampuan mengajar itu disebut
specific skills, karena hanya diperlukan oleh guru atau bahkan guru untuk
matapelajaran tertentu.
Selanjutnya saya
bertanya, apakah karateristik guru ideal itu dapat dicapai dengan segera ketika
mahasiswa STKIP Al Hikmah kuliah? Atau
memerlukan waktu belajar? Ternyata
mereka menjawab memerlukan waktu untuk belajar.
Nah, seandainya itu diprogram untuk dicapai dalam waktu 4 tahun (8
semester) dapatkah dibuah target tahuan atau semesteran. Artinya, ketika sudah kuliah selama 1 tahun
(2 semester) seperti apa karateristik mereka sebagai calon guru.
Mendekati akhir
workshop, saya bertanya jika dianggap workshop itu suatu perkuliahan, saya
menggunakan model pembelajaran apa?
Hampir semua menjawab problem
based learning (PBL). Saya katakan,
sengaja saya menggunakan model PBL untuk memberi contoh bagaimana menerapkan
PBL dalam pembelajaran. Sengaja saya
langsung menggunakan PBL dalam awal workshop, karena saya mimpin ketika besuk dosen
memberi kuliah kepada mahasiswa juga banyak menerapkan PBL.
Ada peserta yang
mengacungkan tangan dan mengatakan sulit menerapkan PBL di awal
perkuliahan. Apalagi mahasiswa baru yang
belum memiliki bekal pengetahuan cukup.
PBL baru dapat diterapkan di akhir kuliah atau ketika mahasiswa sudah
memiliki bekal pengetahuan yang cukup.
Betulkah begitu?
Mendapat komentar
itu, saya bertanya adakah ada peserta yang punya anak atau adik atau keponakan
kira-kira kelas 2 atau 3 SD? Ternyata
ada. Saya bertanya, seandainya putra
beliau diminta menanam jagung di pot dan diminta mengukur tingginya, apakah
bisa? Yang bersangkutan menjawab
bisa. Jika anak tersebut diminta
menggambar jagung dan menuliskan tingginya di kertas, apa bisa? Dijawab bisa.
Jika anak tersebut diminta 2 minggu sekali mengukur tinggi jagungnya dan
menggambarkan serta menuliskan tingginya di kertas, apa bisa? Dijawab bisa.
Nah, jika sudah mempunyai 3 buah gambar dengan ukurannya, dan kepada
anak tersebut ditanya berapa kira-kira tinggi jagung 2 minggu lagi, apakah si
anak dapat menjawab? Dijawab bisa. Jadi anak kelas 3 SD sudah dapat mengikuti
pembelajaran PBL. Tentu untuk problem
yang sesuai dengan tingkatan berpikirnya.
Serangkaian
pertanyaan kepada peserta dengan contoh kasus anak kelas 3 SD dimaksudkan untuk
memberi contoh agar kita jangan underestimate
(memandang rendah) terhadap anak-anak (mahasiswa). Mahasiswa dapat diajak menerapkan PBL, dengan
catatan masalah yang dibahas sesuai dengan tingkatan berpikir dan lingkungan
sekitarnya. Sengaja saya tidak menjawab berdasar
teori, tetapi dengan contoh yang mereka kenali.
Underestimate
terhadap anak/siswa sering terjadi dalam dunia pendidikan. Seringkali guru dan dosen menganggap
siswa/mahasiswa tidak dapat memahami materi pelajaran/kuliah tanpa
diterangkan. Akibatnya materi apapun
yang tercantum di kurikulum dijelaskan panjang lebar. Akibatnya siswa menjadi terbiasa dan tidak
mau mencari atau belajar sendiri. Keterbiasaan seperti itu bahkan menjadi
ketergantungan. Siswa dan mahasiswa
kemudian bergantung kepada penjelasan guru/dosen. Kita jarang melihat mahasiswa memperlajari
materi sebelum dosen menerangkan. Seakan-akan
mahasiswa harus diterangkah lebih dahulu dan baru memperdalam setelahnya.
1 komentar:
Posting Komentar