Sebenarnya
saya sudah beberapa kali ke Hong Kong, sebagian besar hanya transit. Kali ini saya juga transit dalam perjalanan
ke Jepang untuk berkunjung ke Aichi University of Education di Nagoya dan
Hokuriku University di Kanazawa. Di
Aichi University of Education saya akan bertemu dengan Rektor yang baru,
sekaligus memperkenalkan Pak Warsono calon pengganti saya. Juga memberi seminar tentang pendidikan untuk
dosen dan mahasiswa. Di Hokuriku University
akan menandatangani MoU.
Dari
anak saya, Reza yang saat kuliah di Australia berteman baik dengan anak-anak
Hong Kong, saya mendapat cerita kalau orang Hong Kong lebih senang menjadi
bagian Inggris dari pada China. Orang
Hong Kong tidak mau disebut China, walaupun memegang paspor China. Kalau disebut sebagai orang China, mereka
akan mengatakan “bukan, saya orang Hong Kong”.
Bahkan banyak orang Hong Kong lebih bangga memegang identitas sebagai
“orang Inggris kelas dua” dari pada sebagai “orang China”.
Kali
ini saya memperhatikan perilaku mereka di bandara dan mencoba membandingkan
dengan orang China yang biasa kita jumpai di bandara-bandara China Daratan. Dan kesan saya memang berbeda. Secara fisik,
saya tidak melihat perbedaan orang Hong Kong dengan orang China, tetapi dari
cara berpakaian dan berperilaku kesan saya memang berbeda. Pengaruh Inggris tampak sangat kuat. Mungkin karena selama 100 tahun, Hong Kong
dikelola oleh Inggris, sehingga “penularan budaya” terjadi secara intens.
Kesan
yang pertama saya tangkap adalah volume suara ketika mereka berbicara. Orang Hong Kong sangat mirip dengan orang
Barat yang terbiasa bicara pelan di lingkungan orang banyak. Sementara seingat saya, orang China biasanya
berbicara agak keras bahkan terkesan ramai, meskipun di tempat umum. Sayang sekali saya tidak dapat berbahasa
Canton dan Mandarin, sehingga tidak dapat mengerti apa yang mereka
bicarakan. Seandainya saya faham bahasa mereka,
saya akan dapat melihat apakah cara berbahasa mereka berbeda.
Sepintas
saya juga mengamati cara berpakaian orang Hong Kong dan orang China agak
berbeda. Memang tidak begitu jelas,
tetapi kesan saya cara berpakaian orang Hong Kong juga terpengaruh kuat orang
Inggris. Warna pakaian yang dipilih
cenderung soft dan tidak colorful seperti orang China. Setahu saya orang-orang di China Daratan
senang sekali berpakaian yang warna-warni.
Kesan
lain yang cukup menyolok adalah soal anteran.
Di bandara Hong Kong orang antre dengan teratus. Misalnya ketika boarding dan ketika membeli
makanan. Saya yang berdiri di dekat
penjual makanan ditanya apakah juga antre.
Tampaknya penanya takut menyerobot antrean. Hal seperti itu tidak lazim di tempat umum di
China. Mungkin ya, di tempat-tempat
tertentu, tetapi banyak yang tidak demikian.
Apa
yang dapat dipetik dari fenomena itu?
Pertama, tampaknya prinsip dalam interaksi sosial yang menyebutkan bahwa
elemen yang lebih unggul akan menularkan budayanya ke elemen yang kurang, sudah
terjadi di Hong Kong. Ketika Inggris
mengelola Hong Kong, tentu orang Inggris difahami lebih kuat dibanding orang
Hong Kong yang pada saat itu bagian dari China.
Oleh karena itu pengaruh budaya Inggris begitu kuat di Hong Kong. Apalagi itu terjadi selama 100 tahun.
Kedua,
dalam proses perkembangan budaya itu
kemudian orang Hong Kong menikmati manfaat budaya Inggris. Oleh karena itu kemudian budaya Inggris
menjadi bagian dari masyarakat. Dan
ketika Hong Kong kembali ke pangkuan China, orang Hong Kong enggan kembali ke
budaya China. Atau mungkin terjadi rasa
inferiority dari orang Hong Kong sebagai bagian dari China, sehingga merasa
lebih “bermartabat” sebagai orang Inggris.
Walaupun sangat mungkin, seirama dengan kebangkitan Asia, pada saatnya
China dianggap lebih unggul dari Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar