Kita dapat melihat
hubungan pendidikan dengan kehidupan di masyarakat dari dua sudut pandang. Seringkali kita mendengar ungkapan pendidikan
sebagai wahana pengembangan sumberdaya manusia pembangunan. Ungkapan itu menunjukkan pandangan bahwa pendidikan
ibarat pedati yang ditarik kuda. Kudanya
adalah pembangunan sedangkan pedatinya adalah pendidikan. Artinya pendidikan difungsikan untuk memenuhi
tuntutan pembangunan.
Kita juga dapat
berpikir dari sudut pandang yang lain, yaitu justru pendidikan yang menjadi
kudanya sedangkan pembangunan sebagai pedatinya. Agar pembangunan mengarah ke sektor pertanian
yang maju, maka langkah awal justru kita siapkan tenaga ahli di bidang
itu. Dengan adanya ahli bidang pertanian
diharapkan, pembangunan akan bergeser ke arah pertanian modern. Pola ini juga sering disebutkan bahwa
pendidikan sebagai bentuk rekayasa sosial.
Termasuk pandangan ini mereka yang mengatakan bahwa pendidikan itu
merupakan wahana pembebasan. Artinya
melalui pendidikan dikembangkan manusia yang bebas untuk dapat megembangkan
diri sesuai dengan keinginannya. Bukan
sekedar sebagai “alat” pembangunan.
Sebenarnya dua sudut
pandang itu bukanlah sesuatu akan betul-betul beda (mutually exclusive), tetapi hanyalah berbeda dalam penekanan. Keduanya sama-sama memahami bahwa pendidikan
sebagai wahana “membantu menyiapkan orang untuk menghadapi masa depannya”. Bedanya, pandangan pertama masa depan mereka
adalah bagian atau lebih kasar disebut sebagai komponen pembangungan
bangsa. Pandangan kedua memahami masa
depan mereka adalah suatu kebebasan, sehingga setiap orang dapat memilih apa
yang diinginkan.
Terlepas dari
perbedaan itu, satu hakekat yang sama, adalah keduanya menginginkan agar
pendidikan dapat membantu orang menyiapkan diri sukses memerankan dirinya
sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Jadi salah satu kata kunci yang harus diperhatikan dalam mendesain
pendidikan adalah “situasi yang akan dihadapi orang/anak yang telah lulus/tamat”. Meminjam ungkapan Trilling & Fadel (2009)
langkah awal dalam mendesain pendidikan adalah menggambarkan situasi masyarakat/dunia kerja 20 tahun ke depan
ketika siswa sudah lulus dan terjun ke masyarakat. Berangkat dari gambaran tersebut, selanjutnya
merumuskan/ memastikan kemampuan/kompetensi apa yang seharusnya dimiliki
lulusan agar sukses menghadapi situasi tersebut. Nah, kemampuan itulah yang seharusnya
dikembangkan di sekolah/lembaga pendidikan.
Mari kita banyangkan
seperti apa situasi Indonesia 20 atau 30 tahun yang akan datang. Saya yakin sudha jauh berbeda. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan
transportasi akan menyebabkan era global akan datang lebih cepat. Asean Economic Community (AEC) yang akan
dimulai tahun 2015, disusul dengan yang lain-lain akan mempercepat era
itu. Sekarang saja, kita sudah dihadapkan
kenyataan bahwa buah-buahan yang dijual di pasar berasal dari berbagai
negara. Demikian pula pernik-pernih
pakaian. Sebaliknya kita juga menjumpai
kopiah dan perlengkapan haji di Saudi Arabia ternyata buatan Gresik dan
Bangil. Indomie sudah membangun pabrik
sangat besar disana. Baju-baju dari
Bandung dan Pekalongan sudah menumpuk di Australia. Begitu banyak tenaga asing bekerja di
Indonesia, sebaliknya kita juga melihat banyak orang Indonesia yang sekarang
bekerja di negara lain. Kita sudah tidak
mengetahui dengan jelas, air mineral merk aqua itu milik siapa, sementara peternakan
sapi besar di Autralia ternyata dimiliki orang Indonesia.
Barang-barang begitu
mudahnya melintas batas negera, begitu banyaknya tenaga kerja melintas negara
dan begitu mudahnya kepemilihan perusahaan berpindah tangan antar warga negara
yang berbeda, maka internasionalisasi sudah dihadapan kita. Dengan demikian pendidikan harus dapat
menyiapkan diri menghadapi situasi yang bernuasan internasional itu. Jadi internasionalisasi pendidikan menjadi
sebuah keniscayaan.
Internasionalisasi
pendidikan bukan dimaksudkan kita mengimpor pola pendidikan asing, menggunakan
kurikulum asing apalagi mengimpor guru dari negera lain. Tetapi pendidikan yang dapat memastikan bahwa
lulusannya dapat berkompetisi dan sekaligus bekerjasama dengan orang dari
negara lain dengan posisi setara. Tidak
menghasilkan lulusan yang nanti hanya menjadi orang yang disuruh-suruh oleh
orang asing yang bekerja di negeri ini.
Kalau para lulusan
bekerja di negara lain, mereka seharusnya juga setara dengan orang setempat dan
warga negara lain. Tentu sesuai dengan
profesi yang dipilih. Namun harus
dipastikan bukan sekedar menjadi tenaga kerja kasar yang disuruh-suruh.
1 komentar:
Assalamualaikum Pak,
Mohon ijin untuk share tulisan Bapak di fan page kami :
https://www.facebook.com/intoffice.dj?ref_type=bookmark
Salam kenal dari IBI Darmajaya Lampung.
Terima kasih.
Posting Komentar