Minggu, 15 Juni 2014

PROFESOR



Awal tahun 1998 saya terlibat diskusi lucu dengan beberapa teman.  Teman tersebut bertanya mengapa saya tidak segera melakukan pengukuhan professor yang terhitung 1 Desember 1997.  Diskusi dimulai dengan penting-tidaknya pengukuhan, sampai pada apa materi yang sebaiknya disampaikan dalam pidato pengukuhan.  Termasuk didiskusikan apa konskwensi dosen yang mendapat gelar/jabatan professor.

Di akhir diskusi saya berkelakar, professor itu seperti lagi Jali-jali, pohonnya tinggi buahnya jarang.  Maksudnya secara kepangkatan sangat tinggi, karena itu jenjang jabatan tertinggi dari profesi dosen.  Tetapi buahnya jarang, karena tunjangannya tidak seberapa.  Beberapa teman yang ikut diskusi tertawa bersama-sama.  Ada yang memberi komentar, panggilannya sih keren “prof” tetapi kantongnya tipis.

Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terbit, para professor mungkin membatah kelakar saya.  Karena Undang-undang tersebut mengamanatkan professor mendapat tunjangan kehormatan, sebesar dua kali gaji.  Jadi “buah professor mendadak lebat”.  Bayangkan setiap kali mendapat tunjangan dua kali gaji.  Walaupun Undang-undang itu juga mengamatkan kalau profesor memiliki kuwajiban khusus, yaitu menulis artikel, buku dan menyebarluaskan pemikiran melalui forum ilmiah.

Saya tidak faham apakah karena “buah yang lebat” itu atau karena alas an lain, kemudian banyak pihak yang menjadi profesor.  Seingat saya itu dimulai dari munculnya istilah atau jabatan professor riset bagi rekan-rekan peneliti di LIPI/BPPT dan lembaga sejenis. Kemudian juga banyak tokoh-tokoh yang mendapatkan gelar profesor, baik mereka yang pejabat tinggi negara, tokoh masyarakat dan sebagainya.  Dan akhir-akhir ini semakin banyak saja.  Konon ada penyanyi terkenal yang juga mendapatkan gelar professor, entah dari mana.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa profesor adalah pangkat dosen tertinggi, guru besar, maha guru.  Kalau di negara lain, dosen senior memang biasa dipanggil profesor.  Biasanya dikenal istilah assistant professor, associate professor dan full professor.  Dulu Indonesia juga mengenal istila profesor madya.  Undang-undang Guru dan Dosen mendefinisikan profesor sebagai jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi yang mempunyai kewengan membimbing calon doktor.

Sepanjang yang saya tahu, di Indonesia gelar/jabatan profesor diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Saya kurang tahu, kalau profesor riset lembaga mana yang memberikan. Mungkin LIPI atau Kementerian Ristek.  Jadi jabatan profesor di Indonesia berlaku secara nasional dan tidak lokal di negara lain.  Jadi logikanya aturan mendapatkan jabatan profesor belaku secara nasional pula.

Beberapa waktu lalu, ketika Koran memuat ada seorang tokoh nasional (seingat saya pernah menjadi menteri) dikukuhkan menjadi profesor, seorang kawan bertanya apakah meman beliau sebagai dosen.  Saya menjawab, tidak tahu.  Tetapi memang berliau seorang dokor lulusan UGM.  Teman tadi terus bertanya, bukankah hanya dosen yang dapat menjadi profesor.  Bukahkah jika bokan dosen tentu tidak memenuhi kredit point sebagaimana ditentukan untuk mendapatkan jabatan profesor.  Karena tidak tahu, saya tetap menjawab tidak tahu.  Walaupun teman tersebut terus mengejar kok aneh mantan Direktur Ketenagaan tidak mengerti masalah itu.

Ketika kemudian muncul lagi seorang tokoh juga melakukan pengukuhan gelar profesor, dalam hati saya berkecamuk berbagai pertanyaan.  Pertama, apa motivasi beliau mengajukan atau bersedia diajukan menjadi profesor.  Pada hal, sangat mungkin beliau-beliau itu bukan dosen tetap (penuh waktu).  Kalau toh sebagai dosen, tentu dosen luar biasa, karena tidak mungkin memiliki waktu penuh sebagai dosen. 

Apakah jabatan dosen begitu menarik bagi orang penting?  Apakah dianggap prestisius dengan menyandang gelar profesor?  Saya menduga para tokoh tersebut tidak tertarik dengan tunjanan kehormatan, karena sudah mapan dari sisi ekonomi.  Apalah artinya uang sekitar 6-7 juta per bulan bagi orang-orang peting tersebut.  Apalagi untuk mendapatkan tunjangan tersebut harus mengajar penuh yang ditunjukkan dengan BKD (Beban Kerja Dosen).

Kedua, setahu saya untuk mendapatkan jabatan profesor haruslah dosen yang telah mengumpulkan kredit point minimal 850 kredit.  Mungkinkah para tokoh yang bukan asli dosen itu dapat mengumpulkan kredit point sebanyak 850 kredit?  Apalagi dalam 850 kredit itu ada sejumlah kredit untuk bidang pendidikan yang hanya diperoleh jika mengajar dan membimbing skipsi/tesis/disertasi.  Sejumlah kredit lainnya diperoleh melalui penelitian dan karya ilmiah.  Seingat saya untuk mendapatkan jabatan profesor, dosen pengusul harus memiliki artikel yang dimuat di jurnal terakreditasi atau bahkan jurnal internasional.

Ketika Wapres Bordiono dikukuhkan menjadi profesor, saya masih dapat mengerti karena beliau seorang dosen UGM yang “dipinjam mejadi pejabatan negara”.  Walaupun tetap ada pertanyaan apakah kredit point beliau untuk pendidikan pengajaran terpenuhi, karena mungkin sudah lama tidak mengajar.  Atau mungkin saja terpenuhi, karena sebelum menjadi pejabat negara sudah mengumpulkan kredit point cukup banyak.

Ketiga, apakah profesor akan menjadi “gelar yang tidak terkait dengan jabatan dosen”?  Jabatan yang semua orang dapat memperoleh, asalkan mengumpulkan syarat tertetu, misalnya karya ilmiah atau keahlian tertentu.  Katakankah ada profesor udang, yaitu orang yang punya keahlian hebat tentang udang?  Rasanya yang pokok adalah konsistensi dalam pendefinisian dan penentuan aturan, sehingga masyarakat dapat mudah memahami.

Tidak ada komentar: