Awal tahun 1998 saya
terlibat diskusi lucu dengan beberapa teman.
Teman tersebut bertanya mengapa saya tidak segera melakukan pengukuhan
professor yang terhitung 1 Desember 1997. Diskusi dimulai dengan penting-tidaknya
pengukuhan, sampai pada apa materi yang sebaiknya disampaikan dalam pidato
pengukuhan. Termasuk didiskusikan apa
konskwensi dosen yang mendapat gelar/jabatan professor.
Di akhir diskusi saya
berkelakar, professor itu seperti lagi Jali-jali, pohonnya tinggi buahnya
jarang. Maksudnya secara kepangkatan
sangat tinggi, karena itu jenjang jabatan tertinggi dari profesi dosen. Tetapi buahnya jarang, karena tunjangannya
tidak seberapa. Beberapa teman yang ikut
diskusi tertawa bersama-sama. Ada yang
memberi komentar, panggilannya sih keren “prof” tetapi kantongnya tipis.
Ketika Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terbit, para professor mungkin
membatah kelakar saya. Karena Undang-undang
tersebut mengamanatkan professor mendapat tunjangan kehormatan, sebesar dua
kali gaji. Jadi “buah professor mendadak
lebat”. Bayangkan setiap kali mendapat
tunjangan dua kali gaji. Walaupun
Undang-undang itu juga mengamatkan kalau profesor memiliki kuwajiban khusus,
yaitu menulis artikel, buku dan menyebarluaskan pemikiran melalui forum ilmiah.
Saya tidak faham
apakah karena “buah yang lebat” itu atau karena alas an lain, kemudian banyak
pihak yang menjadi profesor. Seingat
saya itu dimulai dari munculnya istilah atau jabatan professor riset bagi
rekan-rekan peneliti di LIPI/BPPT dan lembaga sejenis. Kemudian juga banyak
tokoh-tokoh yang mendapatkan gelar profesor, baik mereka yang pejabat tinggi
negara, tokoh masyarakat dan sebagainya.
Dan akhir-akhir ini semakin banyak saja.
Konon ada penyanyi terkenal yang juga mendapatkan gelar professor, entah
dari mana.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia menjelaskan bahwa profesor adalah pangkat dosen tertinggi, guru
besar, maha guru. Kalau di negara lain,
dosen senior memang biasa dipanggil profesor.
Biasanya dikenal istilah assistant professor, associate professor dan
full professor. Dulu Indonesia juga
mengenal istila profesor madya.
Undang-undang Guru dan Dosen mendefinisikan profesor sebagai jabatan
akademik tertinggi di perguruan tinggi yang mempunyai kewengan membimbing calon
doktor.
Sepanjang yang saya
tahu, di Indonesia gelar/jabatan profesor diberikan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Saya kurang tahu, kalau
profesor riset lembaga mana yang memberikan. Mungkin LIPI atau Kementerian Ristek. Jadi jabatan profesor di Indonesia berlaku
secara nasional dan tidak lokal di negara lain.
Jadi logikanya aturan mendapatkan jabatan profesor belaku secara
nasional pula.
Beberapa waktu lalu,
ketika Koran memuat ada seorang tokoh nasional (seingat saya pernah menjadi
menteri) dikukuhkan menjadi profesor, seorang kawan bertanya apakah meman
beliau sebagai dosen. Saya menjawab,
tidak tahu. Tetapi memang berliau
seorang dokor lulusan UGM. Teman tadi
terus bertanya, bukankah hanya dosen yang dapat menjadi profesor. Bukahkah jika bokan dosen tentu tidak
memenuhi kredit point sebagaimana ditentukan untuk mendapatkan jabatan
profesor. Karena tidak tahu, saya tetap
menjawab tidak tahu. Walaupun teman tersebut
terus mengejar kok aneh mantan Direktur Ketenagaan tidak mengerti masalah itu.
Ketika kemudian
muncul lagi seorang tokoh juga melakukan pengukuhan gelar profesor, dalam hati
saya berkecamuk berbagai pertanyaan. Pertama, apa motivasi beliau mengajukan
atau bersedia diajukan menjadi profesor.
Pada hal, sangat mungkin beliau-beliau itu bukan dosen tetap (penuh waktu). Kalau toh sebagai dosen, tentu dosen luar
biasa, karena tidak mungkin memiliki waktu penuh sebagai dosen.
Apakah jabatan dosen
begitu menarik bagi orang penting?
Apakah dianggap prestisius dengan menyandang gelar profesor? Saya menduga para tokoh tersebut tidak
tertarik dengan tunjanan kehormatan, karena sudah mapan dari sisi ekonomi. Apalah artinya uang sekitar 6-7 juta per
bulan bagi orang-orang peting tersebut.
Apalagi untuk mendapatkan tunjangan tersebut harus mengajar penuh yang
ditunjukkan dengan BKD (Beban Kerja Dosen).
Kedua,
setahu saya untuk mendapatkan jabatan profesor haruslah dosen yang telah
mengumpulkan kredit point minimal 850 kredit.
Mungkinkah para tokoh yang bukan asli dosen itu dapat mengumpulkan
kredit point sebanyak 850 kredit?
Apalagi dalam 850 kredit itu ada sejumlah kredit untuk bidang pendidikan
yang hanya diperoleh jika mengajar dan membimbing skipsi/tesis/disertasi. Sejumlah kredit lainnya diperoleh melalui
penelitian dan karya ilmiah. Seingat
saya untuk mendapatkan jabatan profesor, dosen pengusul harus memiliki artikel
yang dimuat di jurnal terakreditasi atau bahkan jurnal internasional.
Ketika Wapres
Bordiono dikukuhkan menjadi profesor, saya masih dapat mengerti karena beliau
seorang dosen UGM yang “dipinjam mejadi pejabatan negara”. Walaupun tetap ada pertanyaan apakah kredit
point beliau untuk pendidikan pengajaran terpenuhi, karena mungkin sudah lama
tidak mengajar. Atau mungkin saja
terpenuhi, karena sebelum menjadi pejabat negara sudah mengumpulkan kredit
point cukup banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar