Senin tanggal 9 Juni
2014 saya berusaha dapat menonton debat capres dengan maksud ingin tahu apa
program para capres ke depan. Sayang
saat itu ada kegiatan lain, sehingga saya hanya dapat nonton sebagian. Saya berusaha bertanya ke beberapa teman
untuk bagian-bagian lain yang saya tidak dapat nonton. Maksudnya supaya dapat gambaran utuh, apa
capres/cawapres kalau beliau-beliau itu terpilih.
Tidak tahu mengapa,
saya dan beberapa teman yang saya tanya, tidak faham apa program kerja konkret
yang akan dilaknakan oleh para capres/cawapres jika belau-beliau terplih. Tangkapan saya, apa yang disampaikan sangat
umum, normatif dan “di langit”. Mungkin
saya terlalu bodoh (termasuk beberapa teman saya?), sehingga tidak mampu
menangkap ungkapan-ungkapan bahasa tinggi.
Selesai menonton dan
diskusi dengan beberapa teman, saya merenung apa sebenarnya tujuan debat
capres. Apakah sekedar melihat kemampuan
mereka dan berpikir dan beradu argumen, atau ingin mengetahui program
kerjanya. Guru atau dosen yang terbiasa
mengajar dan menilai capaian akademik siswa/mahasiswa memang mudah mengetahui
keruntutan logika dan ketajaman daya analisis seseorang. Dengan menonton debat selama 1-2 jam, dapat
dipastika para guru dan dosen dapat mengetahui kemampuan para peserta.
Debat capres yang
dipublikasikan secara luas dan bahkan acara itu diinformasikan secara luas. Rasanya tidak tepat kalau tujuannya untuk
mengetahui keruntutan cara berpikir dan ketajaman analisis peserta. Tentu masyarakat awam akan sulit mengetahui
itu, walaupun sudah menonton depat beberapa jam. Jadi yang cocok debat capres merupakan media
capres/ cawapres menunjukkan program kerja, sehingga publik (calon pemilih)
tahu akan hal itu. Sangat mungkin
informasi tentang program kerja itu menjadi salah pertimbangan publik untuk
memilih.
Besuk paginya,
ketika melihat mahasiswa mengikuti UAS (ujian akhir sementer) saya mendapat
celetukan beberapa mahasiswa tentang debat capres. Ternyata mereka juga memiliki pendapat yang
sama, yaitu debat capres tidak jelas arahnya.
Bahkan salah seorang mahasiswa berkelakar merasa rugi melihat cebat
capres karena tidak mendapatkan gambaran untuk memilih.
Tentu penilaian di
atas sangat subyektif. Saya dan beberapa
teman sesama pendidik sangat mungkin awan dalam bidang politik, sehingga tidak
dapat menangkap substansi debat. Namun
jika benar dugaan saya bahwa debat itu konsumsi publik (masyarakat umum)
tentunya materi publik dan cara penyampaian juga yang dapat difahami oleh publik,
termasuk para pendidik.
Saya jadi teringat prinsip
dasar mengajar atau kegiatan sejenis. Pertama, memilih materi yang diperlukan
atau disenangi oleh peserta dan kedua, menggunakan bahasa yang mudah difahami oleh
mereka. Materi yang menjadi kebutuhan
dan atau disenangi akan membuat peserta senang dan betah mengikuti
pelajaran.
Bayangkan kalau
kucing kita sedang sakit ada informasi tentang obat kucing tentu kita tertarik,
karena menjadi kebutuhan saat itu. Jika
kita hobi sepak bola da nada pertandingan sepak bola di TV tentu kita senang
menonton. Sebaliknya jika kita tidak
hobi dengan burung dan tidak sedang punya burung, ada orang berapi-api cerita
tentang burung, tentu kita kurang tertarik.
Bayangkan kalau
kucing kita sedang sakit da nada orang bercerita tentang obat kucing, tentu
kita tertarik. Namun yang bercerita itu
menggunakan bahasa yang sulit difahami. Tentu yang semula tertarik, lama-lama
menjadi bosan karena kita tidak mengerti.
Itulah contoh pentingnya topik dan bahasa dalam proses pendidikan.
Apakah capres itu
dapat dianalogkan dengan proses pembelajaran?
Jujur saya tidak faham. Namun
dari sisi kepentingan publik, sepertinya begitu. Publik perlu mengenal “siapa dan apa yang
akan dilakukan setelah terpilih”. Kata
orang Surabaya, public perlu tahu “jerohan” capres/cawapres. Semoga.
1 komentar:
Assalamu'alaikum...
Salam hormat pak,saya Subliyanto, salah satu peserta Rakornas Pendidikan Hidayatullah yang bapak kemarin ngisi di asrama haji,mudah-mudahan dengan bergabungnya saya dengan blog bapak, dapat memberikan tambahan ilmu bagi saya. Terimakasih
Posting Komentar