Ketika memberi
seminar atau pelatihan tentang Pendidikan Karakter saya sering mendapatkan
pertanyaan apakah jika memberi penekanan karakter kita tidak kehabisan waktu,
sehingga materi ajar tidak dapat terselesaikan.
Pertanyaan serupa juga sering saya dapatkan ketika membantu memberikan
pelatihan Kurikulum 2013. Sebagaimana
diketahui Kurikulum 2013 memberikan penekanan yang cukup besar pada ranah
afektif.
Pertanyaan tersebut
perlu mendapat perhatian dari kalangan ahli pendidikan, karena mengindikasikan
pemahaman si penanya terhadap pengertian kurikulum belum utuh. Secara sederhana kurikulum itu ibarat cetak
biru (blue print) sebuah gedung yang akan dibangun. Cetak biru akan memuat gambar gedung, bahan
yang dipakai, kualifikasi tukang yang mengerjakan, waktu pengerjaan dan cara
menguji hasil pekerjaan.
Gambar gedung
menunjukkan wujud gedung sesudah jadi, maupun bagian-bagiannya. Itu analog dengan SKL (standar kompetensi
lulusan) yaitu kompetensi saat siswa lulus dan juga KI (kompetensi ini) serta
KD (kompetensi dasar) yaitu kompetensi yang harus dicapai siswa saat
menyelesaikan pokok bahasan atau matapelajaran tertentu.
Bahan untuk bangunan
itu ibarat materi ajar. Apa yang
diajarkan untuk membentuk komptensi yang diharapkan. Gambar detail dan panduan dalam RKS (rencana
kerja dan syarat) menunjukkan bagaimana tahapan membangun. Itu ibarat bagaimana metoda atau proses
pembelajaran seharusnya dilakukan untuk mencapai kompetensi yang
diharapkan. Kualifikasi tukang itu
ibarat kualifikasi guru, sedangkan uji pekerjaan itu itu ibarat tes untuk
memastikan bahwa KI,KD dan SKL telah tercapai.
Pemaknaan kurikulum
sebagai daftar matapelajaran dan daftar isi untuk setiap matapelajaran kurang
utuh atau lebih tegaskan keliru. Sebagaimana
blue print atau sering disebut gambar bestek di pembangunan gedung, kurikulum
harus membuat SKL/KI/KD, materi ajar, proses pembejaran, kualifikasi guru dan
cara menguji apakah SKL/KI/KD telah tercapai.
Lantas apa
hubungannya dengan pertanyaan guru tadi?
Terkesan kuat bahwa yang ingin dicapai adalah “menghabiskan” materi ajar
atau paling jauh agar siswa menguasai materi ajar itu. Pada hal materi ajar itu “sekedar” bahan dan
harus dicapai adalah SKL/KI/KD. Dan
dalam SKL/KI/KD terkandung aspek-aspek karakter (ranah afektif). Disamping tentu saja, ranah kognitif dan
psikomotor. Kalau kita lihat SKL, baik
pada Kurikulum 2013 maupun Kurikulum 2004, aspek karakter tidak kalah kental
dibanding kognitif dan psikomotor.
Artinya, jika arah pembelajaran adalah adalah untuk mencapai KD/KI/SKL
maka aspek karakter tidak boleh ditinggalkan atau dikalahkan dengan menghabiskan
materi ajar (ranah kognitif) semata.
Apakah dengan
memberikan penekanan aspek karakter, ranah kognitif dan psikomotor akan
terhambat? Rasanya tidak. Misalnya jika siswa didorong untuk jujur dan
kerja keras, apakah pencapaian ranah kognitif akan terhambat? Apakah jika anak didorong untuk belajar
berkerjasama dan berempati kepada orang yang sedang kesulitan, pencapaian ranah
kognitif dan psikomotor terhambat?
Apakah jika siswa didorong untuk belajar toleransi kemampuan kognitif
akan terhambat?
Sebenarnya
pengembangan ranah afektif (aspek karakter) dapat diintegrasikan kedalam
pemilihan model pembelajaran yang cocok.
Kejujuran dapat diintegrasikan kepada semua matapelajaran, misalnya
tidak menyontek saat ujian, tidak menyiplak saat membuat laporan dan karya
tulis lainnya, tidak memanipulasi data saat praktikum dan sebagainya. Pengembangan kemampuan kerjasama dalam
diintegrasikan setiap matapelajaran saat mereka kerja kelompok, baik di kelas
teori maupun praktikum. Kemampuan
toleransi dapat diintegrasikan kepada saat diskusi yang memungkinkan terjadinya
perbedaan pendapat. Bahkan dapat
dirancang soal-soal pemecahan masalah yang memberi peluang setiap orang punya
solusi yang tidak tepat sama. Tentu disesuaikan dengan topik yang cocok.
Jadi pengembangan
ranah afektif (aspek karakter) lebih terkait dengan pemilihan model
pembelajaran. Di samping itu, saya yakin
kalau kita mampu mengembangkan aspek-aspek karakter, misalnya jujur, kerja
keras, disiplin, suka menolong orang lain, kemampuan dalam ranah kognitif
justru akan meningkat. Bukankah jujur,
disiplin, kerja keras, pantang menyerah, kerjasama dan sejenis itu merupakan
syarat penting untuk berprestasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar