Senin, 02 Juni 2014

PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF



Salah satu ciri utama Kurikulum 2013, khususnya untuk SD adalah menggunakan model pembelajaran tematik integratif.   Kompetensi yang ingin dikembangkan dikemas dalam tema-tema secara terpadu.  Dengan demikian tidak ada lagi matapelajaran yang mucul secara tersurat.  Yang ada adalah tema-tema yang didalamnya terkandung kompetensi-kompetensi yang dahulu berada dalam masing-masing matapelajaran.

Sebenarnya model pembelajaran ini bukankah sesuatu yang baru.  Sudah lama beberapa negara menerapkan.  Di Indonesia juga sudah banyak SD yang menerapkan dan bahkan dalam era KTSP sudah ada beberapa SD didorong menerapkan untuk Kelas 1 dan Kelas 2.  Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) sudah menerapkan itu sejak berdiri tahun 2000.  Saat itu dianggap aneh dan dijuluki Sekolah tanpa matapelajaran.

Sebagai gambaran saya ingin berbagi pengalaman menerapkan pola itu di SAIMS 14 belas tahun lalu.  Untuk SD Kelas 1 sebaiknya dipilih tema yang menarik buat anak-anak, ada di lingkungan tempat tinggal dan dapat mewadahi semua kompetensi yang ingin dikembangkan.  Misalnya “KUCINGKU” merupakan salah satu pilihan tema yang cocok di SD Kelas 1 awal.  Mengapa?  Karena pada umumnya anak usia 6-7 tahun senang kucing.  Siswa SAIMS tentu bertempat tinggal di sekitar Surabaya yang biasanya familier dengan kucing.  Diberi tambahan “KU”, di belakang kata “KUCING”, untuk menimbulkan rasa memiliki.

Apa kompetensi yang dapat ditampung dalam tema KUCINGKU?   Misalnya untuk Matematika kompentensi membilang sampaing menjumlah, dalam IPA mengenal binantang di lingkungan, untuk Agama/PPKN ada kepada ciptaan Tuhan, bahasa Indonesia bekomunikasidan bertanya tentang hal-hal sederhana, dan sebagainya.  Dapat juga diwadahi kemampuan kerjasama dan rasa keingintahuan.

Pengalaman di SAIMS ternyata tema itu dapat membuat anak-anak aktif.  Anak-anak ditanya siapa yan punya kucing.  Lantas setiap anak yang punya kucing diminta bercerita, siapa naka kucingnya, warnanya apa, kakinya berapa, bagaiman adabnya agar kucing tidak kelaparan dan sebagainya.  Bahkan bias dikembangkan jika punya kucing dua ekor, berapa kakinya dan sebagainya.

Bagi yang tidak punya kucing dapat ditanya apakah punya anjing atau binatang lainnya.  Pola pertanyaan yang mirip dapat diterapkan untuk anjing, burung, kelinci dan seterusnya.  Diupayakan setiap anak dapat kesempatan untuk menyampaikan data kucing atau anjinnya, sebagai latihan berkomunikasi.  Jika mungkin anak yang lain didorong untuk bertanya, dan seterusnya.

Pembelajaran tematik terintegratif membuat anak-anak belajar sambil bermain.  Seakan-akan bermain tetapi sebenarnya sedang belajar.  Ketika anak bercerita tentang kucingnya, warnanya apa, kakinya berapa, makanannya apa dan sebagainya, seakan-akan anak sedang bermain pada hal mereka sedang belajar matermatika, IPA, IPS, bahasa Indonesia, PPKn dan sebagainya. 
Anak-anak senang karena merasa bermain dan bangga karena menunjukkan apa yang mereka miliki dan lakukan.  Dan yang lebih penting mereka dapat mudah menyerap materi ajar (lebih tepat disebut mengembangkan kompetensi yang ingin dicapai).  Inilah sebuah contoh joyful learning.

Apakah dengan tematik integratif siswa dapat mencapai kompetensi dasar (KD) sebagaimana yang dituntut ketika pembelajaran dilakukan dengan matapelajaran secara terpisah?  Pengalaman SAIMS ternyata bisa dan bahkan lebih mudah?  Mengapa? Karena denga tematik apa-apa yang dipelajari menjadi lebih konkret.  Misalnya penjumlahan menjadi lebih konkret misalnya dengan menjumlah kaki kucing.  Adab terhadap makhluk ciptaan Tuhan menjadi lebih konkret karena menjadi bagaimana memelihara kucing.  Rasa ingin tahu menjadi lebih konkret dengan mempertanyakan bagaimana kalau kucingnya beranak 10 ekor.  Dan sebagainya.

Lebih dari itu pembelajaran menjadi sangat kontekstual, karena mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Dalam contoh tadi kucing.  Dengan demikian anak sudah belajar menerakan pengetahuan/kompetesi untuk problema di sekitar, sehingga pada saatnya mampu memecahkan problema keseharian.

Dibalik kebaikan tersebut, pengalaman di SAIMS menunjukkan kalau penerapakan pembelajaran tematik integratif menghadapi dua tantangan.  Pertama guru.  Guru kita belajar di SD dengan pola matapelajaran terpisah, kuliah di LPTK dengan pola matakuliah terpisah dan berlatih mengajar atau bahkan selama ini mengajar dengan pola matapelajaran terpisah.   Ternyata tidak mudah mereka berubah dengan menerapkan pola tematik integratif.  Perlu waktu dan contoh konkret agar mereka dapat segera menerapkan.

Kedua, masalah evaluasi.  Harus dipastikan bahwa tema hanyalah alat untuk memudahkan anak-anak belajar.  Yang dituju adalah pencapaian kompetensi, sebut saja mulai dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).  Jadi yang diukur adalah apakah siswa sudah menguasai kompetensi tersebut.  Tentu dikaitkan dengan Standar Isi sebagai konten pembelajaran.

Tidak ada komentar: