Salah satu ciri
utama Kurikulum 2013, khususnya untuk SD adalah menggunakan model pembelajaran
tematik integratif. Kompetensi yang
ingin dikembangkan dikemas dalam tema-tema secara terpadu. Dengan demikian tidak ada lagi matapelajaran
yang mucul secara tersurat. Yang ada
adalah tema-tema yang didalamnya terkandung kompetensi-kompetensi yang dahulu
berada dalam masing-masing matapelajaran.
Sebenarnya model
pembelajaran ini bukankah sesuatu yang baru.
Sudah lama beberapa negara menerapkan.
Di Indonesia juga sudah banyak SD yang menerapkan dan bahkan dalam era
KTSP sudah ada beberapa SD didorong menerapkan untuk Kelas 1 dan Kelas 2. Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS)
sudah menerapkan itu sejak berdiri tahun 2000. Saat itu dianggap aneh dan dijuluki Sekolah
tanpa matapelajaran.
Sebagai gambaran
saya ingin berbagi pengalaman menerapkan pola itu di SAIMS 14 belas tahun
lalu. Untuk SD Kelas 1 sebaiknya dipilih
tema yang menarik buat anak-anak, ada di lingkungan tempat tinggal dan dapat
mewadahi semua kompetensi yang ingin dikembangkan. Misalnya “KUCINGKU” merupakan salah satu
pilihan tema yang cocok di SD Kelas 1 awal.
Mengapa? Karena pada umumnya anak
usia 6-7 tahun senang kucing. Siswa
SAIMS tentu bertempat tinggal di sekitar Surabaya yang biasanya familier dengan
kucing. Diberi tambahan “KU”, di
belakang kata “KUCING”, untuk menimbulkan rasa memiliki.
Apa kompetensi yang
dapat ditampung dalam tema KUCINGKU?
Misalnya untuk Matematika kompentensi membilang sampaing menjumlah,
dalam IPA mengenal binantang di lingkungan, untuk Agama/PPKN ada kepada ciptaan
Tuhan, bahasa Indonesia bekomunikasidan bertanya tentang hal-hal sederhana, dan
sebagainya. Dapat juga diwadahi kemampuan
kerjasama dan rasa keingintahuan.
Pengalaman di SAIMS
ternyata tema itu dapat membuat anak-anak aktif. Anak-anak ditanya siapa yan punya
kucing. Lantas setiap anak yang punya
kucing diminta bercerita, siapa naka kucingnya, warnanya apa, kakinya berapa,
bagaiman adabnya agar kucing tidak kelaparan dan sebagainya. Bahkan bias dikembangkan jika punya kucing
dua ekor, berapa kakinya dan sebagainya.
Bagi yang tidak
punya kucing dapat ditanya apakah punya anjing atau binatang lainnya. Pola pertanyaan yang mirip dapat diterapkan
untuk anjing, burung, kelinci dan seterusnya.
Diupayakan setiap anak dapat kesempatan untuk menyampaikan data kucing
atau anjinnya, sebagai latihan berkomunikasi.
Jika mungkin anak yang lain didorong untuk bertanya, dan seterusnya.
Pembelajaran tematik
terintegratif membuat anak-anak belajar sambil bermain. Seakan-akan bermain tetapi sebenarnya sedang
belajar. Ketika anak bercerita tentang
kucingnya, warnanya apa, kakinya berapa, makanannya apa dan sebagainya,
seakan-akan anak sedang bermain pada hal mereka sedang belajar matermatika,
IPA, IPS, bahasa Indonesia, PPKn dan sebagainya.
Anak-anak senang
karena merasa bermain dan bangga karena menunjukkan apa yang mereka miliki dan
lakukan. Dan yang lebih penting mereka
dapat mudah menyerap materi ajar (lebih tepat disebut mengembangkan kompetensi
yang ingin dicapai). Inilah sebuah
contoh joyful learning.
Apakah dengan
tematik integratif siswa dapat mencapai kompetensi dasar (KD) sebagaimana yang
dituntut ketika pembelajaran dilakukan dengan matapelajaran secara terpisah? Pengalaman SAIMS ternyata bisa dan bahkan
lebih mudah? Mengapa? Karena denga
tematik apa-apa yang dipelajari menjadi lebih konkret. Misalnya penjumlahan menjadi lebih konkret
misalnya dengan menjumlah kaki kucing.
Adab terhadap makhluk ciptaan Tuhan menjadi lebih konkret karena menjadi
bagaimana memelihara kucing. Rasa ingin
tahu menjadi lebih konkret dengan mempertanyakan bagaimana kalau kucingnya
beranak 10 ekor. Dan sebagainya.
Lebih dari itu
pembelajaran menjadi sangat kontekstual, karena mempelajari sesuatu yang ada di
lingkungan sekitar. Dalam contoh tadi kucing.
Dengan demikian anak sudah belajar menerakan pengetahuan/kompetesi untuk
problema di sekitar, sehingga pada saatnya mampu memecahkan problema
keseharian.
Dibalik kebaikan
tersebut, pengalaman di SAIMS menunjukkan kalau penerapakan pembelajaran
tematik integratif menghadapi dua tantangan.
Pertama guru. Guru kita belajar di SD dengan pola
matapelajaran terpisah, kuliah di LPTK dengan pola matakuliah terpisah dan
berlatih mengajar atau bahkan selama ini mengajar dengan pola matapelajaran
terpisah. Ternyata tidak mudah mereka
berubah dengan menerapkan pola tematik integratif. Perlu waktu dan contoh konkret agar mereka
dapat segera menerapkan.
Kedua,
masalah evaluasi. Harus dipastikan bahwa
tema hanyalah alat untuk memudahkan anak-anak belajar. Yang dituju adalah pencapaian kompetensi,
sebut saja mulai dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI)
dan Kompetensi Dasar (KD). Jadi yang
diukur adalah apakah siswa sudah menguasai kompetensi tersebut. Tentu dikaitkan dengan Standar Isi sebagai
konten pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar