Dalam
perjalanan Surabaya-Nagoya saya membaca buku Pintu-pintu Menuju Tuhan tulisan
Nurcholish Madjid. Sebenarnya itu buku
lama, terbit tahun 1995 dan saya juga sudah lama membelinya. Namun entah mengapa waktu mau berangkat saya
mengambil itu untuk dibaca di pesawat. Yang terpikir hanya mencari bacaan yang tidak
terlalu berat untuk mengisi waktu sepanjang penerbangan sekitar 7 jam. Buku itu sebenarnya buku lama, terbit tahun
1994 dan saya membelinya tahun 1995 yang tentu sudah pernah say abaca, walupun
tidak seluruhnya.
Artikel
terakhir dalam buku itu berjudul Pintu-pintu Menuju Yusuf. Cak Nur menggunakan metaphora pesan Nabi
Ya’kup kepada anak-anaknya ketika mereka berangkat mencari Yusuf: “ Wahai
anak-anakku, kamu janganlah masuk dari satu pintu, melainkan masuklah dari
berbagai pintu yang berbeda-beda”. Melalui
pesan itu, Nabi Ya’kup menunjukkan kebenaran dapat digapai melalui berbagai
pintu, tetapi semuanya bertujuan sama yaitu mencapai kebenaran hakiki itu. Altenatif-alternatif tersedia dan kita diberi
kebebasan untuk memilihnya.
Seperti
biasanya Cak Nur menggunakan metaphora itu untuk menganalisis fenomena
kekinian. Dan metaphora itu digunakan
untuk menganalisis fenomena Pemilu, mungkin Pemilu 1994 yag tidak segegap
gempita pemilu sebelumnya. Konon pemilu
saat itu adem ayem saja, sehingga banyak pihak mempertanyakan, apakah
masyarakat sudah bosan dengan pemilui sehingga menjadi apatis. Namun Cak Nur justru melihat dari sisi lain,
yaitu adem ayem menunjukkan gejala keraguan sehat (healthy scepticim), yaitu
keraguan karena melihat alternatif-alternatif lain yang tidak seperti yang
selama itu dikenal. Dan itu gejala sehat, karena itulah salah satu inti
demokrasi, yaitu tidak adanya kemutlakan dan sebaliknya selalu ada alternatif
pilihan.
Lantas
mengapa saya gembira? Karena saya
melihat kampanye menjelang Pilpres 2014 ini adem ayem. Lebih adem ayem disbanding Pileg yang
lalu. Semoga saja ini menunjukkan
gejalan munculnya kedewasaan masyarakat sebagaimana disimpulkan Nurcholish
Madjid. Dan bukan seperti yang diragukan banyak orang dengan ungkapan “toh
siapapun presidennya tidak ada bedanya”.
Jika simpulan Cak Nur yang benar, maka kita dapat berharap akan tumbuh
toleransi terhadap teman atau orang lain yang memiliki pilihan yang
berbeda. Sekaligus akan mengurangi
adanya fanatisme yang berlebihan.
Tetapi
mengapa juga sedih? Karena, ketika pada
masyarakat pada umumnya sudah tumbuh toleransi kepada orang lain yang memiliki
beda pilihan, justru di tingkat elite terjadi saling sindir, saling cemooh dan
bahkan saling serang. Yang lebih
menyedihkan mereka saling serang secara fulgar dengan mengorek kesalahan (entah
benar entah tidak) di masa lalu. Mereka
saling buka kartu untuk menunjukkan kesalahan fihak lain dan tentu saja di
balik itu ingin mendapatkan “nilai positif” bagi dirinya atau kelompoknya.
Jujur,
sebagai orang tua dan guru, saya sangat sedih.
Mereka sepertinya tidak neyadari atau lupa bahwa pernyataannya ditonton,
didengar dan dibaca jutaan orang, sehingga menjadi bahan ajar bagi jutaan anak
bangsa, baik yang melihat/mendengar langsung atau yang medapatkan dari tangan
kedua. Dan seperti biasanya, polemik
seperti itu menjadi santapan empuk bagi media, kemudian di-blow up, dengan
bumbuh macam-macam. Jadilah bola salju
pembelajaran yan destruktif bagi anak bangsa.
Pada hal, seperti kata orang bijak panas setahun diapus oleh hujan
sehari. Sekian lama para guru dan orang
tua mengajarkan hal-hal yang baik, kemudian hilang oleh pembelajaran dari elite
politik seperti itu.
Seandainya
apa yang saling dibuka oleh mereka itu benar, apakah mereka lupa akan prinsip
bahwa membuka aib orang lain itu suatu perbuatan dosa dan menyakitkan
hati. Bukahkah perbuatan seperti itu
lebih banyak didorong oeh perasaan dengki untuk mendapatkan kredit point untuk
diri atau keompoknya. Apalahi jika
ternyata itu tidak benar, tentu menjadi sebuah fitnah yang keji. Bukankah fitnah itu lebih kejam dari
pembunuhan.
Seorang
teman mengatakan bahwa hal seperti itu jamak dalam pertarungan politik. Bahkan teman tadi menasehati siapapun yang
terjun ke politik harus siap difitnah, dihujat, diburu bahkan dibunuh. Betulahkan politik seganas (seburuh itu)? Betulkah dalam pertarungan politik segala
cara dihalalkan? Bukankah politik itu
bertujuan mulia, yaitu memperjuangan kemakmuran masyarakat? Bukahkah dalam perjuangan itu tidak hanya
harus bertujuan baik, tetapi cara yang ditempuh juga harus baik?
Saya
jadi teringat ketika beberapa tahun lalu terlibat dalam inisiasi pengarusutamaan
pendidikan karakter. Seorang teman
mengatakan, segala problema bangsa ini berawal dari karakter yang kurang
terpuji. Perilaku yang tidak jujur,
ingin menang sendiri dan ingin mendapatkan seuatu yang melebihi haknya. Perilaku yang tidak menghagai hak-hak orang
lain. Perilaku yang serakah. Kawan lain bahkan menyontohkan singa yang
hanya berburu jika lapar, namun manusia seringkali “menimbun kekayaan dan
menumpuk kekuasaan”, walaupun tidak sedang kekurangan dam sebenarnya sudah
berkuasa.
Apakah
fenomena saling serang tadi termasuk yang digambarkan sebagai perilaku berebut
kekuasaan? Saya kurang faham. Mungkin para ahli psikologi yang dapat
menjawab. Namun, sekali lagi yang saya
risaukan adalah pengaruhnya kepada anak-anak.
Memang seorang kawan bercerita, anak-anak sekarang sudah bosan dengan perilaku
elite seperti itu, sehingga mereka tidak akan terpengaruh bahkan akan
mencibirnya. Semoga saja dugaan kawan
yang terakhir ini benar adanya. Jika
masih ada orang yang terpengaruh, moga-moga tidak banyak jumlahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar